Sastra Berbentuk Kakawin

Buku/tulisan sastra lakon/cerita yang berbentuk tembang Kawi atau Kakawin, di antaranya ialah:

Sastra Berbentuk Kakawin
1 Kresnayana, karangan Empu Triguna.
Isinya meriwayatkan Kresna yang sebagai anak nakal sekali, tetapi dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini dengan jalan menculiknya.

2 GathotkacaƧraya, karangan Empu Panuluh
Isinya menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu dengan Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantuan sang Gathotkaca. Dalam kitab ini untuk yang pertama kali muncul tokoh-tokoh punakawan, seperti Jurudyah, Prasanta dan Punta sebagai pengiring Raden Abimanyu.

3 Arjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa
Isinya meriwayatkan Arjuna yang pertapa untuk mendapatkan senjata, guna keperluan perang melawan Korawa, kelak dalam Bharatayuda. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksasa Nirwatakawaca yang menyerang Kahyangan. Sebagai hadiah, Arjuna boleh hidup di Indraloka beberapa lama. Kitab ini digubah oleh Empu Kanwa pada masa Airlangga raja di Jawa Timur dari sekitar tahun 941 – 946 saka (019 – 1042 Masehi).

4 Smaradahana, karangan Empu Darmadja
Ketika batara Siwa sedang bertapa, seorang raja raksasa bernama Nilarudraka datang di Kahyangan untuk merusak Sorga. Sang Kamajaya disuruh oleh para dewa untuk menyusulnya. Sampai di tempat bertapa, Kamajaya berkali-kali membangunkan tapanya dengan berbagai cara, tetapi gagal. Dicoba dengan panah bunganyapun gagal juga. Akhirnya dipanah pamungkasnya yaitu panah Pancawiyasa yaitu sebuah panah yang bisa membangkitkan rasa rindu-dendam terhadap pendengaran dan persaan, penglihatan yang serba nikmat.

Seketika itu juga, Batara Siwa rindu terhadap isterinya Sang Batari Uma. Namun Batara Siwa marah karena tahu bahwa itu adalah ulah Kamajaya. Maka dari “mata-ketiga” Batara Siwa terpancarlah api menempuh dan membakar Kamajaya sehingga matilah Kamajaya. Batara Siwa melenjutkan perjalanan pulang ke Sorga. Sampai di Sorga bertemulah dengan permaisuri, kerinduan bisa lepas dan tersalur hingga sang Batari hamil.

Sementara Kama Ratih mencari sang suami yang mati terbakar, terlihat tangan Kamajaya bagaikan melambai-lambai, maka Ratih menggelebyur ke dalam nyala api (dahana mulat) hingga terbakar dan mati. Oleh Batara Siwa keduanya tidak dimaafkan, Kamajaya disuruh menyatu dengan tubuh setiap lelaki dan Batari Ratih harus menyatu pada tubuh setiap perempuan sampai sekarang.

Dicerikan kehamilan sang Batari Uma telah sampai pada saat kelahirannya. Maka lahirlah seorang bayi (jabang-bayi) berkepala gajah. Ini akibat dari waktu hamil sang Uma terkejut melihat gajah yang dibawa oleh para dewa ketika pura-pura menjenguk Batara Siwa. Bayi yang lahir itu diberi nama Batara Ganesa. Kehadiran raja raksasa Nilarudraka yang akan merusak sorga itu dapat dipukul mundur dan dibunuh oleh Ganesa.

Kitab Smaradahana juga menyebut nama raja Kediri Prabu Kameswara titisan Kamajaya yang ke-3. Parameswari Sri Kirana Ratu sebagai titisan Kama Ratih. Pemerintahan Kameswara ini terjadi pada tahun 1037 – 1052 Saka atau tahun 1115 – 1130 Masehi.

5 Bomakawya
Kitab ini berisi cerita peperangan antara Sri Kresna melawan sang Boma. Demikianlah cerita peperangan tersebut. Kehadiran Batara Narada di negara Dwarawati minta tolong kepada Sri Kresna agar membunuh para bala raksasa anak buah (prajurit) sang Boma, yang sedang mengepung ke Inderaan. Samba putera Sri Kresna diperintahkan untuk berangkat mendahului bersama-sama beberapa tentaranya. Sampai di kaki gunung Himalaya, bertempurlah mereka melawan raksasa-raksasa dan musnahlah semua bala raksasa.

Dengan berakhirnya perang itu Raden Samba melihat sebuah pertapaan rusak dan sepi, hanya ada seorang jejanggan bernama Puthut Gunadewa. Di situlah Raden Samba menanyakan bagaimana riwayat pertapaan itu. Sang Gunadewa kemudian menceritakannya, bahwa tempat itu adalah bekas pertapaan Sang Dharmadewa putera Batara Wisnu.

Sesudah sang Dharmadewa wafat, maka permaisurinya menjadi tapa-tapi di pertapaan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian, permaisuri yang bernama Yadnawati itu meninggal. Terakhir pertapaan ini ditempati oleh seorang pendeta gurunya Gunadewa bernama Pendeta Wismamitra.

Mendengar cerita si jejanggan Gunadewa, maka terlintaslah kembali dalam ingatan Raden Samba bahwa Dharmadewa (putera Wisnu) itu adalah dirinya sendiri. Ia sekarang sangat rindu kepada Yadnawati.

Sementara kerinduan Raden Samba terhadap Yadnawati tidak terbendung, datanglah Batari Titlotama yang mengatakan bahwa Yadnawati menitis pada puteri raja dari utara nagara dan namanya tetap Yadnawati. Tetapi karena kerajaan diserang oleh seorang raja raksasa prabu Boma, ayah ibunya meninggal. Kini sang puteri dipelihara sang Boma.

Raden Samba diantar oleh Batari Titlotama, dengan diam-diam menemui sang Yadnawati. Di situ pula Samba berhadapan dengan bala raksasa penjaga. Samba mampu mengalahkan para penjaga dan matilah penjaga itu. Tetapi Yadnawati telah dibawa oleh Boma ke negaranya yang lain di Projatisa.

Batara Narada datang memberitahukan agar Raden Samba kembali ke Dwarawati, sebab di situ bahaya mengancamnya. Cepatcepat Raden Samba ke Dwarawati tetapi tak bisa bertemu kekasihnya sang Yadnawati. Gandrung tak terelakkan hingga sakit. Kresna ayahnya marah, Boma dibunuhnya. Raden Samba sembuh dan lalu dipertemukan dengan Yadnawati, bermadu asmara. Buku ini pengarangnya tidak jelas.

6 Sutasoma
Raden Sutasoma seorang pangeran yang diperanakkan oleh raja Mahaketu di negeri Astina. Ia tidak mau diangkat sebagai pengganti ayahnya dan juga tidak mau dikawinkan, ia pemeluk Budha Mahayana, sangat rajin. Suatu saat Raden Sutasoma pergi dari istana, semua pintu terbuka bagaikan memberi jalan kepadanya. Dengan kepergian Sutasoma tentu raja dan parameswarinya sangat sedih. Penghibur istana tidak terhiraukan.

Perjalanan Raden Sutasoma sampai di sebuah hutan, melihat kuil kecil dan masuklah ia memuja kepada Maha Budha. Datanglah batari Widyukarali yang memberitahu bahwa permohonannya dikabulkan. Kemudian Raden Sutasoma naik ke gunung Himalaya dengan dihantar oleh para pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, semua yang dilakukan Raden Sutasoma diceritakan kepada orang yang ada di situ. Di samping itu, Raden Sutasoma juga mendapat cerita tentang seorang raja yang bagus rupa tetapi titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia. Raja itu bernama prabu Purusada atau Kalmasapada. Suatu saat daging yang akan disantap hilang dimakan anjing dan babi.

Sudah barang tentu pelayan itu bingung. Maka dicarinyalah mayat manusia yang baru untuk diambil dagingnya sebagai santapan sang prabu Purusada. Ternyata pelayan itu langsung memasak daging yang didapatnya. Setelah disantap, ternyata daging sebanyak itu habislah. Dengan merasakan segar dan nikmat, sang prabu Purusada menanyakan daging apa yang baru disantapnya? Dengan jujur ia menjawab ”daging manusia”. Demikian kesenangan makan daging manusia bagi sang Prabu Purusada semakin tak terbendung. Akibatnya penduduk di negeri itu habis dimakan.

Karena kuasa Sang Hyang Wenang, raja raksasa itu terluka kakinya dan tidak bisa disembuhkan, akhirnya ia benar-benar menjadi raksasa penghuni sebuah hutan. Sang Purusada merasa tersiksa atas kakinya yang sakit itu. Lalu berjanji akan mempersembahkan seratus raja untuk santapan batara Kala bila sembuh kembali.

Batari Pertiwi dan para dewa meminta Sutasoma untuk membunuh raja Purusada, tetapi tidak mau. Raden Sutasoma meneruskan perjalanannya dalam rencana untuk bertapa. Dalam perjalanannya Raden Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah yang juga pemakan daging manusia. Kebetulan Raden Sutasoma tidak mau dimakan, maka bergulatlah, dan raksasa terguling ditindih olehnya. Ia merasa keberatan, bagaikan tertindih gunung. Raksasa berkepala gajah itu kemudian tunduk kepada Raden Sutasoma. Diajarlah ia supaya tidak suka membunuh orang dan kemudian menjadi sahabatnya.

Seekor naga besar yang menyambar Raden Sutasoma ternyata bisa ditaklukkan oleh raksasa kepala gajah dan menjadilah muridnya. Ada seekor harimau yang akan memangsa anaknya sendiri (gogor). Oleh Raden Sutasoma dilarangnya, harimau tadi memakan dirinya. Langsung saja Raden Sutasoma ditubruknya dan matilah. Dengan kesadaran sendiri harimau itu merasa berdosa dan menangislah pada kaki Raden Sutasoma dan ingin mati saja.

Sutasoma dihidupkan oleh Batara Indra. Setelah saling berdialog, Indra kembali ke Kahyangan. Raden Sutasoma lalu bertapa. Meskipun banyak godaan tetapi tak tergoda, malah menjelma sebagai sang Budha Wairocana. Setelah para dewa ingin menghormat maka menjadi Raden Sutasoma kembali dan langsung pulang. Sepupu Raden Sutasoma yang bernama Prabu Dasabahu sedang berperang melawan tentara raksasa Prabu Kalmasapada. Raksasa kalah mengungsi kepada Raden Sutasoma. Prabu Dasabahu, mengejarnya ternyata ketemu dengan sepupunya. Bala raksasa disuruh kembali. Raden Sutasoma diajak pulang ke negerinya, terus dikawinkan dengan adiknya Prabu Dasabahu, dan berputralah mereka, terus pulang ke Astina bergelar Prabu Sutasoma.

Prabu Purusada yang sudah mampu mengumpulkan 99 orang raja tinggal seorang saja segera akan diserahkan ke Batara Kala. Ternyata setelah ketemu dengan Prabu Sutasoma yang sanggupkan dirinya sebagai penggenapan jumlah 100 orang raja. Sebelum sampai di hadapan Batara Kala, sang Prabu Purusada terharu akan kesanggupan Prabu Sutasoma. Akhirnya bertobatlah sang Purusada dan 99 orang raja tawanan dibebaskan. Kitab Sutasoma ditulis pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Induk karangan ada di negeri Indu. Sayang sekali siapa penulisnya tidak diketahui dengan jelas.
7 Parthayadnya
Purbocaroko, dalam Kapustakan Jawa-nya mengungkapkan bahwa buku Parthayadnya sederet dengan Kitab Arjunawijaya dan Sutasoma. Pernyataan pada isi buku, bahwa buku ditulis pada jaman Majapahit pertengahan sampai akhir. Isi kitab ini mengisahkan kehidupan orang Pandawa sesudah kalah main dadu. Mereka dipermalukan, dianiaya diseret ke hadapan para raja yang berkumpul di negara Astina. Kemudian dibuang ke hutan selama 12 tahun.

Akhirnya dalam mempersiapkan diri, oleh Yudhistira, Arjuna disuruh bertapa di gunung Indrakila. Dalam perjalanannya sang Arjuna singgah di pertapaan Bagawan Mahayani di dalam hutan Wanawati. Ketika laju perjalanannya Arjuna bertemulah dengan Dewi Sri (wahyu istana Indraprastha) yang pergi meninggalkan istana karena raja Yudhistira telah berbuat kurang pantas. Ia sanggup kembali ke istana asal dipelihara. Maka gaiblah wahyu Dewi Sri.

Arjuna juga bertemu dengan Kamajaya dan diberi wejangan-wejangan berharga dan diberi peringatan bahwa akan datang mara bahaya yang dibawa oleh seorang raksasa bernama Nalamala yang berkepala 3, yaitu sebuah kepala gajah, sebuah kepala raksasa dan yang ketiga kepala garuda.
Setelah diperingatkan oleh Kamajaya, tidak lama kemudian Arjuna diserang oleh Nalamala. Tetapi hanya dengan bersemedi sang Arjuna nampak berbadan Batara. Nalamada takut dan pergilah dengan ancaman suatu saat nanti akan ketemu berperang lagi, pada jaman Kaliyuga.

Dalam perjalanan selanjutnya Arjuna bertemu dengan sang kakek Maharsi Wiyasa. Diberi petunjuk dan wejangan tentang perilaku hidup dan kehidupan bagi seorang satria bangbangan (bambangan). Usai diberi wejangan, di antar ke Indrakila dan bertapalah.
Prof. Dr. R.M.Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawanya, menjelaskan bahwa Kitab Parthayadnya tidak mengandung lakon. Hanya menceritakan perjalanan Raden Arjuna untuk menuju bertapa ke Indrakila yang dalam perjalanannya mendapatkan ajaran dan ilmu bermacam-macam. Penulis buku Parthayadnya juga tidak jelas, namun hal ini disejajarkan dengan kitab Sutasoma.
Demikian beberapa buku (tulisan/sastra) yang diambil dari buku yang bertembang dan sastra prosa. Tentu masih banyak bacaan-bacaan lain yang berhubungan dengan sastra lakon.

Komentar