Menurut Koentjoroningrat (1986), pengertian kebudayaan dibagi ke dalam tiga sistem, pertama sistem budaya yang lazim disebut adat-istiadat, kedua sistem sosial di mana merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dari manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk menyambung keterbatasan jasmaniahnya.
Berdasarkan konteks budaya, ragam kesenian terjadi disebabkan adanya sejarah dari zaman ke zaman. Jenis-jenis kesenian tertentu mempunyai kelompok pendukung yang memiliki fungsi berbeda. Adanya perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang hasil-hasil seninya disebabkan oleh dinamika masyarakat, kreativitas, dan pola tingkah laku dalam konteks kemasyarakatan.
Koentjoroningrat mengatakan, Kebudayaan Nasional Indonesia adalah hasil karya putera Indonesia dari suku bangsa manapun asalnya, yang penting khas dan bermutu sehingga sebagian besar orang Indonesia bisa mengidentifikasikan diri dan merasa bangga dengan karyanya.
Kebudayaan Indonesia adalah satu kondisi majemuk karena ia bermodalkan berbagai kebudayaan, yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri. Pengalaman serta kemampuan daerah itu memberikan jawaban terhadap masing-masing tantangan yang memberi bentuk kesenian, yang merupakan bagian dari kebudayaan.
Untuk lebih jelas dapat diterangkan apa-apa saja yang menggambarkan kebudayaan, misalnya ciri khas bentuk rumah adat daerah yang berbeda satu dengan daerah lainnya, sebagai contoh ciri khas rumah adat di Jawa mempergunakan joglo sedangkan rumah adat di Sumatera dan rumah adat Hooi berbentuk panggung.
Contoh Kebudayaan: Macam-macam Rumah Adat |
Kebudayaan: Alat Musik
Seperti halnya rumah adat, kebudayaan alat musik di setiap daerah pun berbeda dengan alat musik di daerah lainnya. Jika dilihat dari perbedaan jenis bentuk serta motif ragam hiasnya beberapa alat musik sudah dikenal di berbagai wilayah, pengetahuan kita bertambah setelah mengetahui alat musik seperti yang terlihat di gambar berikut ini Grantang, Tifa dan Sampe.
Kebudayaan Musik: Gamelan Grantang Bali |
Gambar kiri: alat musik Sampe Kalimantan Tengah dan gambar kanan alat musik tifa Maluku & Papua |
Kebudayaan: Seni Tari
Di samping rumah adat, alat musik, Indonesia juga memiliki keanekaragaman kebudayaan Seni Tari, seperti tari Saman dari Aceh dan tari Merak dari Jawa Barat.
Gambar tari kebudayaan masing masing daerah - kiri: Tari Saman Aceh dan gambar kanan: tari merak |
Kebudayaan: Kriya Ragam Hias
Selain kaya akan keanekaragaman musik dan tarian tradisi, Indonesia juga kaya akan keanekaragaman hiasan serta motif-motif tradisional. Kriya ragam hias dengan motif-motif tradisional, dan batik yang sangat beragam dari daerah tertentu, dibuat di atas media kain, dan kayu. Gambar berikut adalah Kriya Ragam Hias.
Gambar kiri: Motif Banjar Kalsel dan gambar kanan: Motif NTT |
Motif Toraja |
Kebudayaan dalam Properti Kesenian
Kesenian Indonesia memiliki beragam-ragam bentuk selain seni musik, seni tari, seni teater, kesenian wayang golek dan topeng merupakan ragam kesenian yang kita miliki. Wayang golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan teater yang menggunakan media wayang, sedangkan topeng adalah bentuk seni pertunjukan tari yang menggunakan topeng untuk pendukung.
Gambar kiri: Wayang Golek dan gambar kanan: Topeng Cirebon |
Kebudayaan Pakaian Daerah
Setiap propinsi memiliki kesenian, pakaian dan benda seni yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Gambar berikut adalah pakaian daerah Kalimantan:
Pakaian Adat Kutai Kaltim |
Pakaian Banjar Kalsel |
Kebudayaan dalam bentuk Benda Seni
Kaya dan kreatif adalah sebutan yang sesuai untuk bangsa kita, karya seni yang tidak dapat dihitung ragamnya, merupakan identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Benda seni atau souvenir yang terbuat dari perak yang beasal dari Kota Gede di Yogyakarta adalah salah satu karya seni bangsa yang menjadi ciri khas daerah Yogyakarta, karya seni dapat menjadi sumber mata pencaharian dan objek wisata.
Souvenir Perak Kota Gede Yogyakarta |
Kesenian khas yang mempunyai nilai-nilai filosofi misalnya kesenian Ondel-ondel dianggap sebagai boneka raksasa mempunyai nilai filosofi sebagai pelindung untuk menolak bala, nilai filosofi dari kesenian Reog Ponorogo mempunyai nilai kepahlawanan yakni rombongan tentara kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang akan melamar putri Kediri dapat diartikan Ponorogo menjadi pahlawan dari serangan ancaman musuh, selain hal-hal tersebut, adat istiadat, agama, mata pencaharian, sistem kekerabatan dan sistem kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dari kebudayaan.
Contoh beberapa kebudayaan yang memiliki daya tarik yang tinggi bagi turis mancanegara dan turis lokal antara lain, adat istiadat di Tana Toraja, kebiasaan perempuan suku Dayak di Kalimantan yang senang menggunakan anting yang panjang, berat dan banyak, upacara ngaben (pembakaran mayat) di Bali.
Berikut diuraikan contoh adat istiadat atau sistem kemasyarakatan di Tana Toraja yang meliputi :
Kebudayaan Adat Istiadat
1. Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, artinya “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang, artinya orang yang berdiam di sebelah barat.
Ada juga versi lain kata Toraya. To = Tau (orang), Raya = Maraya (besar), pengertian atau artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidenreng dan dari Luwu. Orang Sidenreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja, artinya “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedangkan orang Luwu menyebutnya To Riajang, artinya orang yang berdiam di sebelah barat.
Ada juga versi lain kata Toraya. To = Tau (orang), Raya = Maraya (besar), pengertian atau artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.
Di wilayah Tana Toraja juga digelar “Tondok Lili’na Lapongan Bulan Tana Matari’ollo”, arti harfiahnya, “Negeri yang bulat seperti bulan dan matahari”. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja).
Rumah Adat Toraja |
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut “Rambu Tuka”. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di “Tongkanan“ untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa, mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya, musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen, sekitar akhir Juni atau Juli, paling lambat September.
Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja antara lain, menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).
Rante adalah tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah “batu”, dalam Bahasa Toraja disebut Simbuang Batu. Sebanyak 102 bilah batu yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah sedang, dan 54 buah kecil. Ukuran batu ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu. Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat “Rapasan Sapurandanan” (kerbau yang dipotong sekurangkurangnya 24 ekor).
Pa’tane |
2. Ngaben - pembakaran Jenasah di Bali
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu, khususnya di Bali . Di dalam “Panca Yadnya”, upacara ini termasuk dalam “Pitra Yadnya”, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh leluhur.
Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu, khususnya di Bali . Di dalam “Panca Yadnya”, upacara ini termasuk dalam “Pitra Yadnya”, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh leluhur.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah, untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya
menghabiskan dana antara 15 juta sampai 20 juta rupiah. Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa, kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.
Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat "Bade dan Lembu" yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warnawarni dan bahan lainnya. "Bade dan Lembu" ini adalah, tempat meletakkan mayat.
Gambar kiri: Lembu dan gambar kanan: Bade |
Kemudian "Bade" diusung beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan "gamelan", dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Di depan "Bade" terdapat kain putih panjang yang bermakna
sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan, dan "Bade" akan diputar sebanyak 3 kali. Upacara Ngaben diawali dengan upacara-upacara dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian "Lembu" dibakar sampai menjadi abu yang kemudian dibuang ke laut atau sungai yang dianggap suci.
sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan, dan "Bade" akan diputar sebanyak 3 kali. Upacara Ngaben diawali dengan upacara-upacara dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian "Lembu" dibakar sampai menjadi abu yang kemudian dibuang ke laut atau sungai yang dianggap suci.
3. Suku Dayak
Sejak abad ke 17, Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar kuping daung daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.
Sejak abad ke 17, Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di daun telinga. Tak sembarangan orang bisa menindik diri hanya pemimpin suku atau panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak menggunakan anting-anting pemberat untuk memperbesar kuping daung daun telinga, menurut kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik, dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.
Gadis Suku Dayak |
Kegiatan-kegiatan adat budaya ini selalu dikaitkan dengan kejadian penting dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Berbagai kegiatan adat kebudayaan ini juga mengambil bentuk kegiatan-kegiatan seni yang berkaitan dengan proses inisiasi perorangan seperti kelahiran, perkawinan dan kematian ataupun acara-acara ritus serupa selalu ada unsur musik, tari, sastra, seni rupa.
Kegiatan-kegiatan adat budaya ini disebut Pesta Budaya. Manifestasi dari aktivitas kehidupan budaya masyarakat merupakan miniatur yang mencerminkan kehidupan sosial yang luhur, gambaran wajah apresiasi keseniannya, gambaran identitas budaya setempat.
Kegiatan-kegiatan adat budaya ini disebut Pesta Budaya. Manifestasi dari aktivitas kehidupan budaya masyarakat merupakan miniatur yang mencerminkan kehidupan sosial yang luhur, gambaran wajah apresiasi keseniannya, gambaran identitas budaya setempat.
Kegiatan adat budaya ini dilakukan secara turun temurun dari zaman nenek moyang dan masih terus berlangsung sampai saat ini, sehingga seni menjadi perekam dan penyambung sejarah. Jadi, dapat disimpulkan yang disebut dengan kebudayaan adalah pikiran, karya, teknologi dan rangkaian tindakan suatu kelompok masyarakat.
Komentar
Posting Komentar
Dengan menggunakan kolom komentar atau kotak diskusi berikut maka Anda wajib mentaati semua Peraturan/Rules yang berlaku di situs plengdut.blogspot.com ini. Berkomentarlah secara bijak.