Kitab Bharatayuda (saduran baru)

Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama. Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya.

Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya sudah mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sastra yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam penyaduran Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak mengerti Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Kawi bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra matya laga”. Artinya, “Adapun tawur (tumbal atau korban) sang Duryudana adalah seorang brahmana (dengan cara dibunuh), menyusullah (tawur Pandawa), oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan bersama wangsanya.

Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, bagian ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngastina, tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sungguh-sungguh dibuat tawur ( korban ) oleh Hastina.” Adapun yang dianggap salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang sudah lama.

Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang satriya gunung (bang-bangan) yang baru saja kawin, tetapi istrinya tidak mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-duanya mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika perang Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur (korban) untuk para Pandawa.”

Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapanya atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisapwani bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam kitab Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Bagawan Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani.

Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nanggaha mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat (ewed) orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pegangan sekarang ini.”
Gathutkaca

Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “ Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutkaca. Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”. Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Gathotkaca minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna.

Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran. Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha ya ta ‘jar i sira” (kita Kawi bagian 44 bait 1). Artinya ada prajurit yang dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya ta (tua ia itu) dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuhayata. Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tuhayata ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijau/biru. Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih, kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujudnya, menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang (cindhe) (Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241 )

Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sangasanga.

Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharatayuda Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat. Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara Hastina.

Komentar