Tantri Kamandaka

Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatantra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam.

Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah keperawanannya. Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satunya yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri. Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan sebuah cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu menagih janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelembutan budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dirayu minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu kawinnya menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka tenanglah negeri itu.

prabu Angling darma
Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Angling darma yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, ketika sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabatnya Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bahwa perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi golongan brahmana, ular jantan itu dibunuh.

Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan menghadap sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Nagini puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki!” Kemudian sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabulkan, dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa binatang.

Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam keluhannya: “Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Mayawati permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu mengasihi sang permaisuri Dewi Mayawati.”

Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya, sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari darma tidak menjawab (ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti) kalau menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dijawab, maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri. Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan para biksu.

Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng tangan terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak dicintai, kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Banggali.
Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku perapian.

Komentar