Gaya Penyajian Seni Pedalangan

Gaya pergelaran pada wayang Kulit Purwa Jawa yang lazim di sebut gagrag sangat beraneka ragam bentuk penyajiannya, diantaranya adalah bentuk wayangnya, iringannya, dialek (ulon), lengkungan vokal (cengkok lagon), ragam gerak wayang, dan lain-lainnya. Salah satu contoh adalah pedalangan gagrag Jawatimuran atau wayang Jek Dong.

Wayang kulit Jawatimuran adalah salah satu dari sekian ciri-ciri wayang yang ada di Indonesia. Wayang kulit Jawatimuran berkembang di daerah-daerah pinggiran karena sering pentas di daerah pedesaan, apabila dibandingkan di perkotaan, sehingga wayang kulit Jawatimuran sering disebut sebagai kesenian rakyat.

Perkembanganya hanya ada pada daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Timur, di antaranya kabupaten Sidoarjo, Pasuruan, Malang, Mojokerto, Jombang, Gresik, Lamongan dan Surabaya. Dari sekian daerah perkembangan wayang kulit Jawatimuran, maka muncullah istilah gagrag atau gaya dari masing-masing daerah tersebut, contoh wayang kulit gagrag Porongan, gagrag Malangan, gagrag Mojokertoan atau Trowulanan, gagrag Lamongan, dan gagrag Surabayan.

Sebutan dari masing-masing gaya tersebut di atas hingga sekarang masih melekat di hati para penggemar seni tradisi wayang kulit Jawatimuran. Karena belum adanya buku tuntunan pedalangan Jawatimuran sehingga sebagai patron atau pakem adalah Empu dari masing-masing gaya tersebut, contoh gaya Porongan (Ki Soleman), gaya Mojokertoan (Ki Pit Asmoro), gaya Lamongan (Ki Subroto), gaya Surabayan (Ki Haji Suwoto Ghozali Almarhum dan Ki Utomo Almarhum).

Untuk mengawali pertunjukan atau sebelum dalang naik di pentas, terlebih dahulu ditampilkan sebuah tarian yang disebut tari Remo dengan dua gaya yaitu gaya putri, dan gaya putra. Hal tersebut dilakukan dengan harapan mampu menarik perhatian para penonton sekaligus sebagai tari pembuka salam atau penyambutan. Pertunjukan wayang kulit Jawatimuran selalu diawali dengan tari remo, sehingga pertunjukan wayang dilaksanakan setelah tari remo. Pertunjukan tari remo dengan menampilkan dua gaya tersebut diperkirakan memakan waktu  satu setengah jam, dimulai jam 21.00. Pertunjukan wayang kulit dimulai  jam 22.30 – 23.00. Pelaksanaan pakeliran seperti tersebut diatas sudah merupakan tradisi pakeliran Jawatimuran dimanapun.

Nama tokoh dan nama sebuah tempat dalam pewayangan sebagian ada yang berbeda, bahkan tidak dimiliki oleh gaya pakeliran lain, contoh nama masa muda Prabu Arjuna Sasra Bahu adalah Raden Nalendradipa, nama masa kecil Anoman adalah Raden Anjila Kencana, dan masih banyak yang lainya. Sedangkan untuk perbedaan nama tempat tinggal adalah, contoh pertapan Begawan Gundawijaya atau (Begawan Bagaspati dalam pedalangan Surakarta) adalah di Guwa Warawinangun, dan lain sebagainya. Pakeliran gaya Jawatimuran kaya akan berbagai sanggit cerita dan dalam sajian pertunjukan masih banyak yang menggunakan cerita pakem (Wet), dari pada cerita karangan (carangan). Sumber cerita yang dipergelarkan adalah epos Ramayana dan Mahabharata.

Cerita baku atau wet adalah cerita yang diperoleh dari Empu masing-masing, dan secara turun-temurun dengan cara berguru ke ahlinya (nyantrik). Perbedaan yang lain terletak pada bentuk simpingan atau sampiran wayang. Sampiran adalah wayang yang ditata berjajar dan berderet diselah kanan dan kiri tempat duduk sang dalang. Apabila di amati akan terlihat jelas ada dua tokoh wayang yaitu Semar dan Bagong yang telah ditancapkan di layar bagain tengah dan ditutup oleh dua gunungan. Di simpingan sebelah kanan tengah dipasang tokoh Betara Guru agak ke atas menghadap ke kiri dan di simpingan sebelah kiri tengah di pasang tokoh Batari Durga menghadap ke kanan.

Instrumen saron satu dan saron dua juga berpengaruh pada setiap adegan yang dimainkan, dengan menampilkan bermacammacam kembangan saron yang sesuai dengan suasana dalam adegan tersebut. Bentuk penonjolan instrumen lain terlatak pada kendang, karena kendang Jawatimuran cenderung berbunyi nyaring terutama bagian sisi kendang yang ukurannya lebih kecil (kempyang) mengacu pada nada satu (siji). Bentuk kendang berukuran besar panjang serta berat.

Ciri khas lainnya terdapat pada beberapa tokoh wayang yang mengenakan busana kepala (irah-irahan) gelung yang dikombinasi dengan makutha (topong atau kethu dewa). Ciri lain terdapat pada tokoh wayang Bima da Gathotkaca, yang di Jawa Tengah berwajah hitam, namun di Jawa Timur berwajah merah. Beberapa tokoh dalang Jawatimuran menyatakan bahwa warna merah bukan berarti melambangkan watak keangkara murkaan namun melambangkan watak pemberani. Selain itu tokoh wayang Gandamana pada wayang Jawa Tengah memiliki pola penggambaran karakter (wanda) yang mirip dengan Antareja atau Gathotkaca, tetapi pada wayang kulit Jawatimuran Gandamana tampil dengan wanda mirip Dursasana atau Pragota.

Contoh bentuk wayang Jawatimuran terakhir sebelum mengalami perubahan bentuk (deformasi) yaitu pada saat diperlihatkan oleh bentuk-bentuk arca pada relief di dinding candi Sukuh di gunung Lawu sebelah barat, yang salah satu reliefnya menggambarkan perkelahian Bima melawan Raksasa dengan menunjukan angka tahun1361 Caka atau 1439 masehi. Jadi masih dalam zaman pemerintahan Prabuputri Suhita, raja Majapahit ke IV (1429 – 1447)
Salah satu pecahan relief di dinding candi Sukuh
Salah satu pecahan relief di dinding candi Sukuh

Komentar