Menganalisis Cerpen pada Periode Tertentu

Menganalisis cerpen merupakan salah satu kegiatan mengapresiasi salah satu jenis karya sastra. Pada pelajaran kali ini kamu akan belajar untuk menganalisis cerpen baik dari segi substansi maupun dari segi unsur-unsur pembentuk cerpen tersebut.

Ada banyak definisi yang diberikan oleh para ahli sastra tentang pengertian cerpen. Namun secara umum cerpen diartikan sebagai salah satu jenis prosa fiksi yang memuat satu peristiwa yang dialami tokoh dalam cerita. Sebagai bagian dari karya sastra, cerpen juga terangkai atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Menganalisis cerpen merupakan upaya menyelidiki unsur-unsur yang ada dalam cerpen, baik unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Proses penyelidikan berbagai unsur cerpen membutuhkan tahapan-tahapan. Berikut ini merupakan tahap-tahapan yang harus dilaksanakan seorang penganalisis sebelum menganalisis cerita.
  1. Membaca merupakan langkah pertama dan utama yang mutlak dilakukan seorang penganalisis sebagai upaya untuk memahami isi cerita beserta unsur-unsur yang ada dalam cerita.
  2. Melakukan identifikasi terhadap unsur-unsur dalam karya sastra, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik.
  3. Mengaitkan hasil identifikasi dengan teori sastra yang digunakan, disertai dengan bukti dan alasan dalam bentuk pemaparan atau penjelasan.
  4. Memaparkan dan menyimpulkan hasil analisis.
Unsur intrinsik merupakan usnur-unsur pembangun karya sastra yang ada dalam karya sastra itu sendiri, yang meliputi tokoh dan penokohan, latar cerita, alur cerita, sudut pandang penceritaan, konflik dan tema penceritaan. Sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur pembangun karya sastra yang ada di luar karya sastra, misalnya status sosial, nilai sosial-budaya, nilai religius dan banyak lagi yang lainnya.
Tahapan di atas bukan merupakan tahapan mutlak yang harus dilaksanakan seorang penganalisis. Tiap orang selalu memiliki cara dan teknik tersendiri, namun setidaknya tahapan tersebut bisa dijadikan pedoman untuk menganalisis sebuah prosa.

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa karya sastra terangkai atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pada pelajaran menganalisis cerita pendek kali ini, kamu akan terlebih dahulu menganalisis unsur intrinsik dalam cerita. Hal ini dilakukan karena terdapat beberapa sebab. Pertama, unsur instrinsik sebagai salah satu cara yang cukup mudah untuk memahami dan mengapresiasi karya sastra. Kedua, untuk membicarakan unsur ekstrinsik tentu diawali dengan pembicaraan unsur intrinsik. Ketiga, untuk membicarakan unsur ekstrinsik tentu diawali dengan pembicaraan unsur intrinsik.

1) Mengenal Tokoh

Peristiwa dalam sebuah cerita seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diperankan oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang memerankan peristiwa dalam sebuah cerita sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh.

Istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Keberadaan tokoh dapat dihubungkan dengan jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utamanya?”, atau “ada berapa orang jumlah pelakunya?” Jika menghadapi suatu cerita, orang selalu bertanya, “ini cerita (tentang) siapa?” atau “siapa pelaku cerita ini? (Sudjiman, 1988:16). Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh novel dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan).

Tokoh seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Pengarang mengunakan beberapa teknik dan cara untuk menghadirkan tokoh dalam novel yang dihasilkannya.

Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh periferal atau tokoh tambahan (bawahan). Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sebaliknya, tokoh tambahan (bawahan) hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dengan porsi penceritaan yang pendek. Pemunculan tokoh tambahan tidak dipentingkan dan kemunculannya harus ada keterkaitan dengan tokoh utama, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tokoh sentral biasanya merupakan tokoh yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Peristiwa atau kejadiankejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut. Untuk menentukan tokoh utama atau tokoh sentral suatu novel dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna atau tema. Kedua, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Ketiga, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

Tokoh juga dapat dibedakan berdasarkan fungsi penampilan tokoh dalam keseluruhan cerita. Fungsi penampilan tokoh merupakan keberadaan tokoh dihubungkan dengan perilaku pembaca yang sering melakukan identifikasi dan melibatkan diri secara emosional dengan tokoh-tokoh yang ada. Berdasarkan fungsi penampilan, tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang merupakan refleksi dari norma dan nilai yang ideal bagi kita.Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca. Tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis. Pada umumnya tokoh antagonis selalu beroposisi (berlawanan) dengan tokoh protagonis baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam bahasa yang sederhana, kalau tokoh protagonis memunculkan perilaku kepahlawanan (hero), tokoh antagonis melahirkan perilaku yang dianggap antipati (jahat).

2) Mengenal Latar Cerita

Sebuah karya fiksi, baik cerpen maupun novel, harus terjadi pada suatu tempat dan dalam suatu waktu, seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Unsur yang menunjukkan kepada kita di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut setting ’latar.’ Dengan demikian, yang termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati, seperti di sebuah desa, di kampus, di dalam sebuah penjara, di rumah, di kapal, dan seterusnya; waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, seperti di zaman revolusi fisik, di saat upacara sekaten, di musim kemarau yang panjang, dan sebagainya (Suminto, 2002).

Dalam bentuknya yang konkret dapat disebutkan sebagai contoh bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Kubah berlangsung di Pulau B, di Pagetan, di istana Lopajang, di rumah, di sawah, di masjid, di jalan, dan seterusnya; pada masa sebelum geger Oktober 1965, pada masa sesudah geger Oktober 1965, sesudah Pengakuan Kedaulatan pada tahun 1949, pada tahun 1971, dan seterusnya, di lingkungan petani, di lingkungan politikus, di kalangan tahanan politik, dan seterusnya.

Deskripsi latar dalam karya sastra secara garis besar dapat dikategorikan dalam tiga bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah historis, dan latar sosial berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan.

Latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita yang terjadi, misalnya latar tempat dalam Kubah, yang menunjuk latar pedesaan, perkotaan, atau latar tempat lainnya. Melalui tempat terjadinya peristiwa diharapkan tercermin pemerian tradisi masyarakat, tata nilai, tingkah laku, suasana, dan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh pada tokoh dan karakternya.

Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa, dalam plot, secara historis. Melalui pemerian waktu kejadian yang jelas, akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut secara jelas pula. Rangkaian peristiwa tidak mungkin terjadi jika dilepaskan dari perjalanan waktu, yang dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya.

Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada di sekelilingnya. Statusnya di dalam kehidupan sosialnya dapat digolongkan menurut tingkatannya, seperti latar sosial bawah atau rendah, latar sosial menengah, dan latar sosial tinggi.

3) Mengenal Sudut Pandang

Menceritakan suatu hal dalam sebuah kisah, pengarang memilih sudut pandang tertentu untuk menyajikan cerita. Bisa saja pengarang berdiri sebagai orang yang berada di luar cerita dan mungkin pula ia mengambil peran serta dalam cerita itu atau pusat pengisahan (point of view) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta suatu kesatuan cerita yang utuh.

Sudut pandang menyangkut masalah teknik bercerita, yakni soal bagaimana pandangan pribadi pengarang akan dapat terungkapkan sebaik-baiknya dalam cerita. Untuk itu, pengarang harus memilih tokoh manakah yang akan disuruh bercerita. Sudut pandang menyangkut masalah pemilihan peristiwa yang akan disajikan, menyangkut masalah ke mana pembaca akan diarahkan atau dibawa, menyangkut masalah apa yang harus dilihat pembaca, dan menyangkut masalah kesadaran siapa yang disajikan. Secara garis besar sudut pandang dibedakan menjadi dua kelompok, yakni (1) sudut pandang orang pertama: akuan, dan (2) sudut pandang orang ketiga: diaan. Pada kelompok akuan, pembaca akan merasa lebih dekat dengan segala peristiwa yang tersaji dalam fiksi. Sebaliknya, pada kelompok diaan pembaca terasa agak berjarak segala peristiwa yang tersaji dalam fiksi.

Berdasarkan dua kelompok tersebut, sudut pandang dapat dibagi menjadi empat jenis, yakni (1) sudut pandang akuan-sertaan (first person-central); (2) sudut pandang akuan-tak sertaan (first-person peripheral); (3) sudut pandang diaan-mahatahu (third-person-omniscient), dan (4) sudut pandang diaan-terbatas (third-person-limited) (Sayuti, 2000). Di dalam sudut pandang akuan-sertaan, tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita. Sementara itu, dalam sudut pandang akuan-tak sertaan, tokoh “aku” biasanya hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting. Pencerita pada umumnya hanya muncul di awal atau di akhir cerita saja.

Di dalam sudut pandang diaan-mahatahu, pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang mahatahu, bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca. Dalam diaan-terbatas, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya. Di sini pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita.

4) Mengenal Alur

Seorang penulis cerita harus menciptakan plot atau alur bagi ceritanya itu. Hal ini berarti bahwa plot atau alur cerita sebuah fiksi menyajikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian kepada pembaca tidak hanya dalam sifat kewaktuan atau temporalnya, tetapi juga dalam hubungan-hubungan yang sudah diperhitungkan. Dengan demikian, alur sebuah cerita akan membuat pembaca sadar terhadap peristiwa-peristiwa yang dihadapi atau dibacanya tidak hanya sebagai subelemen-subelemen yang jalin-menjalin dalam rangkaian temporal, tetapi juga sebagai suatu pola yang majemuk dan memiliki hubungan kausalitas atau sebab akibat.

Struktur alur sebuah fiksi dapat dibagi secara umum menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah dan akhir. Struktur alur dapat dirinci lagi ke dalam bagian-bagian kecil lainnya. Bila digambarkan, bagian-bagian alur akan seperti (kurang dan lebihnya) berikut!

bagian-bagian alur
Pada awal cerita pengarang melakukan eksposisi memperkenalkan tokoh dan melukiskan keadaan tertentu. Tokoh-tokoh mulai menunjukkan perilaku tertentu, misalnya berhubungan antara satu dengan yang lainnya, sehingga lahirlah peristiwa dan konflik tertentu. Dari titik ini peristiwa atau keadaan mulai menanjak masuk ke dalam komplikasi tertentu: persentuhan konflik, perbenturan antara kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berlawanan. Komplikasi ini menanjak mencapai titik puncak tertinggi: klimaks, yang tidak dapat dipertinggi lagi. Klimaks merupakan lanjutan dari komplikasi sebelumnya, juga merupakan kelanjutan dari perkembangan karakter tokoh dalam jaringan konflik yang wajar dan masuk akal. Puncak komplikasi yang tertinggi memerlukan penyelesaian atau pemecahan. Pada perkembangan titik ini pembaca disuguhi suatu pergumulan konflik dengan tegangan yang terkuat, dan akhirnya meluncur menuju akhir: denoument.

Jika ditinjau dari segi penyusunan peristiwa atau bagian-bagian yang membentuknya, dikenal adanya alur kronologis atau progresif dan alur regresif atau sorot-balik (flash back). Dalam alur kronologis, awal cerita benar-benar merupakan “awal”, tengah benar-benar merupakan “tengah”, dan akhir cerita juga benar-benar merupakan “akhir.” Hal ini berarti bahwa dalam plot kronologis, cerita benarbenar dimulai dari eksposisi, melampaui komplikasi dan klimaks yang berawal dari konflik tertentu, dan berakhir pada pemecahan atau denoument.

Sebaliknya, dalam plot regresif, awal cerita bisa saja merupakan akhir, demikian seterusnya: tengah dapat merupakan akhir dan akhir dapat merupakan awal atau tengah. Di dalam plot jenis ini, cerita dapat saja dimulai dengan konflik tertentu, kemudian diikuti eksposisi lalu diteruskan komplikasi tertentu, mencapai klimaks dan menuju pemecahan; dan dapat pula dimulai dengan bagian-bagian lain yang divariasikan.

Jika ditinjau dari segi akhir cerita, dikenal adanya plot terbuka dan plot tertutup. Di dalam plot tertutup, pengarang memberikan kesimpulan cerita kepada pembacanya, sedangkan dalam plot terbuka, cerita sering dan biasanya berakhir pada klimaks, dan pembaca dibiarkan untuk menentukan apa yang (diduga dan mungkin) akan menjadi penyelesaian cerita: akhir cerita dibiarkan menggantung atau menganga. Dalam plot terbuka pembaca memiliki kebebasan dalam menentukan kesimpulan cerita, berdasarkan pengetahuan, sikap, dan minat pembaca dalam memahami cerita.

Jika ditinjau dari segi kuantitasnya, dikenal adanya plot tunggal dan plot jamak. Suatu cerita dikatakan berplot tunggal, apabila cerita tersebut hanya memiliki atau mengandung sebuah plot dan plot itu bersifat primer (utama). Plot tunggal biasanya terdapat dalam cerpen pada umumnya. Dikatakan berplot jamak, apabila cerita itu memiliki lebih dari sebuah plot dan plot-plot utamanya juga lebih dari sebuah. Akan tetapi, plot-plot utama dalam cerita yang berplot jamak seringkali bersinggungan pada titik-titik tertentu.

Jika ditinjau dari segi kualitasnya, dikenal adanya plot rapat dan plot longgar. Sebuah cerita dinyatakan berplot rapat, apabila plot utama cerita itu tidak memiliki celah yang memungkinkan untuk disisipi plot lain. Sebaliknya, cerita itu dinyatakan berplot longgar, apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot la in. Hanya saja, dalam kaitan ini perlu disadari bahwa dalam cerita yang berplot longgar biasanya sisipan alur lain, yang biasanya merupakan subplot, berfungsi untuk mengedepankan plot utamanya, disamping jika plot sisipan itu dibuang cerita utamanya juga akan tetap berjalan tanpa gangguan yang berarti.

5) Mengenal Tema

Dalam pengertiannya yang paling sederhana, tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Wujud tema dalam karya sastra, biasanya, berpangkal pada alasan tindak atau motif tokoh.

Tema dalam karya sastra umumnya diklasifikasikan menjadi lima jenis, yakni tema physical ‘jasmaniah’, tema organic ‘moral’, social ‘sosial’, egoic ‘egoik’, dan divine ‘ketuhanan.’ Tentu, tema fiksi masih dapat diklasifikasikan dengan cara selain ini, misalnya tema tradisional dan tema modern. Klasifikasi di atas lebih merupakan pembagian yang didasarkan pada subjek atau pokok pembicaraan dalam fiksi. Tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia. Tema jenis ini terfokus pada kenyataan diri manusia sebagai molekul, zat, dan jasad. Oleh karena itu, tema percintaan termasuk ke dalam kelompok tema ini. Karya sastra populer yang banyak melibatkan tokoh-tokoh remaja yang sedang mengalami fase “bercinta” merupakan contoh fiksi yang cenderung menampilkan tema jasmaniah. Tema organic diartikan sebagai tema tentang ‘moral’ karena kelompok tema ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia, yang wujudnya tentang hubungan antarmanusia, antarpria-wanita. Tema sosial meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah politik, pendidikan, dan propaganda. Tema egoik merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. Tema ketuhanan merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Periodisasi dalam kesusatraan Indonesia didasarkan atas urutan waktu, yang terbagi atas sebagai berikut.
  • Pujangga Lama
  • Sastra Melayu Lama
  • Angkatan Balai Pustaka
  • Pujangga Baru
  • Angkatan ’45
  • Angkatan 50-an
  • Angkatan 66-70-an
  • Dasawarsa 80-an
  • Angkatan Reformasi
Setiap angkatan dalam periodisasi kesusastraan Indonesia memiliki karya yang dianggap pelopor untuk menyuarakan angkatannya tersebut. Misalnya, pada angkatan Pujangga Baru, karya yang dianggap sebagai pelopor kesastraan Indonesia adalah Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, Salah Asuah karya Abdul Muis, dan banyak lagi contoh-contoh karya yang lainnya. Coba perhatikan contoh hasil identifikasi dan analisis dari cerpen berjudul Jakarta karya Totilawati Tjitrawasita berikut!

Sebagai salah satu bentuk dari karya sastra yang berbentuk prosa, cerpen pun juga terangkai atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Cerita pendek yang berjudul Jakarta ini bercerita tentang kerinduan seorang Waluyo, guru SD desa Nggesi, yang dengan segala keluguannya menengok Paijo, adik sepupunya, yang sudah menjadi jenderal di Jakarta. Pertemuan yang terjadi akhirnya sangat membingungkan dan mengecewakan hati Waluyo.

Pada unsur penokohan, terdapat tiga tokoh dalam cerpen Jakarta, dan ketiga-tiganya ditampilkan secara langsung, perhatikan kutipan berikut.

... Maka ditulisnya di bawah tanda tangannya, lengkap
Waluyo ANOTOBOTO. Nama keluarganya sengaja dibikin
kapital semua diberi garis tebal di bawahnya. ...
... Nama saya Waluyo. Orang-orang memanggilku Pak
Pong, Lihat saja nanti, pak Jendralmu pasti mengganggu aku
dengan Pak Pong, Pak Pong, terlalu banyak makan singkong,
...
... Dan Pak Jenderalmu, murid yang paling jempolan.
Otaknya tajam sekali.

Penggalan di atas menunjukkan bahwa pengungkapan yang secara langsung membuat pembaca tidak merasa kerepotan untuk memahami penokohan yang ada dalam cerpen tersebut. Pengaluran (jalan cerita) yang digunakan dalam cerpen Jakarta pun bersifat linier. Sorot balik yang digunakan tidak bertele-tele dan terkesan ringan. Dalam bentuk bayangan yang timbul di depan mata Pak Pong tentang masa kanak-kanaknya dengan Paijo, 35 tahun yang lalu, ditampilkan di dalan cakapan Pak Pong dengan si penjaga ketika menunggu giliran diterima adik sepupunya.

... Dia melongo: “Diperlukan?” ujarnya di dalam hati,
mengelu tidak mengerti. Disedotnya rokoknya dalam-dalam,
asapnya ditiupkannya ke atas. Terbayang kembali di depan
matanya Paijo yang kurus kering, makan semeja, tidur
sepembaringan, adik misannya sendiri. Pernah ada bisul di
pantatnya, lantas ditumbukkanya daun kecubung untuk obat.
Waktu tubuhnya yang kering diserang kudis, dia bersepeda
sepanjang lima puluh kilometer untuk membeli obat ke kota
buat adiknya. Pagi dan sore menggerus belerang, merebus air
dan merendam Paijo pada kemaron yang besar. Tiga puluh lima
tahun yang lalu, ketika semua masih kanak-kanak.

Secara jelas, penggalan di atas menunjukkan bahwa alur yang digunakan sebagian adalah sorot balik. Kata terbayang kembali di depan matanya dan Tiga puluh lima tahun yang lalu ..., setidaknya menunjukkan pengaluran sorot balik yang digunakannya. Cerita ini memikat dari awal sampai akhir. Kejutan - bahkan pada akhir cerita - dan tegangan di sana-sini membuat pembaca terus terangsang rasa ingin tahunya. Dan banyak lagi unsur-unsur lain yang bisa dianalisis.

Komentar