Seni Pertunjukan Pada Masa Perkembangan Islam

Di antara seni pertunjukan yang merupakan seni Islam adalah seni suara dan seni tari. Seni suara merupakan seni pertunjukan yang berisi salawat Nabi dengan iringan rebana. Dalam pergelarannya para peserta terdiri atas kaum pria duduk di lantai dengan membawakan lagu-lagu berisi pujian untuk Nabi Muhammad Saw. yang dibawakan secara lunak, namun iringan rebananya terasa dominan. Peserta mengenakan pakaian model Indonesia yang sejalan dengan ajaran Islam, seperti peci, baju tutup, dan sarung.

Lebih dinamis lagi adalah seni pertunjukan yang dilakukan oleh para remaja. Isinya salawat nabi, dengan iringan musik yang banyak variasinya. Lebih mencolok lagi adalah pakaiannya yang meniru prajurit Mesir, sehingga sering disebut Mesiran. Mereka memakai celana panjang warna hitam, baju tertutup, dan tutup kepala seperti sorban dengan hiasan umbul-umbul di depannya. Gerakannya lebih dinamis, karena seperti orang berbaris dan atau menari sekaligus.

Di daerah bekas kerajaan-kerajaan Islam, seperti Aceh, Minangkabau, dan Banten berkembang kesenian debus. Sebagai pembuka pada umumnya diawali dengan nyanyian atau pembacaan ayat-ayat suci dalam Al Qur'an atau salawat Nabi, dan puncaknya diwujudkan dalam pertunjukan yang sifatnya magis berupa tusukan pisau atau benda tajam ke dalam tubuh namun tidak mempan. Dalam hal inilah para kyai di suatu pondok menunjukkan kebolehannya dalam ilmu magis, selain dalam ilmu agama.

Di Aceh yang terkenal dengan sebutan Serambi Mekah terkenal tarian seudati. Seudati berasal dari kata Syaidati, yang artinya permainan orang-orang besar. Di samping itu, Seudati sering disebut saman (delapan), karena pemainnya delapan orang. Penarinya memakai pakaian asli Aceh. dan menyanyikan lagu tertentu yang isinya berupa salawat nabi.

tarian seudati
Tarian seudati

Selain seni suara dan seni tari, ada juga seni pertunjukan wayang yang dinilai lebih efektif untuk mengembangkan agama Islam. Ceritanya diambil dari tokoh-tokoh Islam yang mengembangkan agama Islam dan dikenal sebagai wayang suluk. Sebagai agama baru bila dibandingkan dengan agama Hindu Buddha, maka pengertian lama sejauh mungkin diartikan dengan ajaran Islam. Misalnya, Ajimat Kalimasada diartikan sebagai Kalimat Syahadat, Pandawa Lima diartikan sebagai Lima Tiang Agama yang menjadi pedoman dalam melakukan ibadah dan sebagainya. Dengan demikian, jelas bahwa melalui pertunjukan wayang terjadi akulturasi antara Animisme, Hinduisme, Buddhisme dan Islamisme.

Komentar