Sastra Antawacana

Dalam pelajaran Antawacana pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri jurusan Seni Pedalangan, dapat dibagi-bagi menjadi Janturan, Ginem, Pocapan. Ketiga-tiganya tentu membutuhkan kecermatan didalam pengucapan, memilih kata, ingat akan tingkatan bahasa / unggah-ungguh basa dan parama sastra. ini harus dilakukan dengan persiapan yang super hati-hati, agar di dalam sajian pertunjukkan si penonton pulang dengan membawa kepuasan. Untuk itu semua perlu dibicarakan satu per satu.

1. Janturan
Pada hakekatnya Janturan itu sebuah orasi seorang dalang yang ingin menjelaskan tentang apa yang disajikan pada pakelirannya. Kebanyakan janturan yang berlaku pada pertunjukkan wayang berupa kalimat-kalimat indah (basa rinengga) diucapkan secara gancaran dan lesan. Isinya janturan menceritakan dan mengupas situasi dan kondisi suatu Negara. Namun sebagaimana umumnya yang berlaku pada pewayangan jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Barat maupun Jawa Timur dan Bali, orasi ini berwujud Jejer suatu Negara / kerajaan, pertapaan, rumah panakawan. Janturan yang berisi panyandra (menggambarkan) dan menceritakan bagaimana suasana suatu Negara / pertapaan, rumah. Biasanya diambil dari hal-hal yang baik-baik saja, kecuali Jejer Astina atau di tempat raksasa.

Dalam adegan Jejer, apabila masih dalam kondisi pathet Nem (Solo, Yogya, Banyumas) suara dalang saat berorasi harus berada pada bilah 2 atau 6. Kata-kata / kalimat-kalimat yang rangkaiannya berupa gaya bahasa indah (Basa rinengga) tersusun dengan memilih kata yang sudah berdasanama (sinonim) sehingga membentuk menjadi basa pedalangan.

Jejer di dalam wayangan semalam suntuk terjadi minimal 3 kali, dan bisa sampai 5 atau 6 kali, yaitu jejer I, pada awal dimulai pertunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kemudian jejer II terjadi sesudah “Budhalan” prajurit dengan naik kuda, kira-kira pukul 23.00. selanjutnya jejer ke III terjadi sesudah ada tanda peralihan waktu dari wilayah pathet Nem masuk ke dalam wilayah pathet Sanga. Maka jejer ke III ini terjadi sudah berada dalam wilayah pathet Sanga, sehingga peristiwa jejer III sering disebut Jejer Sanga I. Sering juga sebelumnya diisi gara-gara.

Peristiwa dari jejer I, jejer II dan seterusnya itulah janturan ikut berpersan aktif sebagai sarana penjelasan kepada para penonton. Secara structural, janturan jejer tersusun demikian Pertama Adangiyah (kata-kata awal) Berbunyi “swuh rep data pitana” artinya dari kosong (suwung, sepi / mandheg / mati ), akan digelar kehidupan di dunia ini.

Dalam hal ini sebagai penggelar kehidupan adalah Sang Maha Hidup (yang punya hidup) yang di dalam seni pertunjukkan wayang kulit dilambangkan bahwa Sang Dalang yang menceritakan lakon. Kedua Pambuka berupa penjelasan Sang Dalang kepada penonton di awal cerita, contoh janturan.

……….. Hanenggih nagari pundit ta ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing dewa, ingkang kasongan ing angkasa, kasangga pratiwi kapiting samodra, kathah ingkang sami anggana raras boten wonten kadi nagari Dwaraka ya Dwarawati. Mila kinarya bubuka, ngupayaa nagari satus tas antuk kalih, sanadyan sewu tan jangkep sadasa. Mila winanstan Dwarawati dados palawangane jagad, utawi wenganing rahsa, Dwaraka panggenan pambuka.

Ketiga isi berupa untaian kalimat yang menjelaskan tentang Gambaran suatu Negara yang dikelirkan (dilakonkan). Biasanya tentang kemakmuran Negara, keadilan (watak adil para marta) dan kebijakan pemerintah. Bagian isi ini berbunyi agak panjang dan diakhiri penjelasan. Tentang keperluan sang prabu pada pemerintahannya. Isi dalam janturan itu biasanya berbunyi sebagai berikut :

………..Dhasar nagari panjang-punjung, pasir wukir loh jinawi gemah aripah karta tur raharja. Pajang dawa, punjung luhur kawibawane, pasir samodra wukir gunung, dene nagari ngungkurake pegunungan, ngeringake pasabinan nengenake benawi ngayunaken bandaran gedhe. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Gemah para lampah dagang rahinten dalu tan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning margi. Aripah janma manca kang samya gegriya ing salebeting praja katingal jejel riyel aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak saking rejaning praja. Karta kawula ing padhusunan padha tentrem atine, mungkul pangolahing tetanen. Ingon-ingon kebo sapi, pitik iwen tuwin raja kaya tan ana kang cinancang, yen rahina aglar ing pangonan, yen bengi mulih marang kandhange dhewe-dhewe. Raharja tebih ing parangmuka. Para mantra bupati padha kontap kautame, bijaksana limpad ing kawruh, putus marang pangrehing praja, tansah ambudidaya kaluhuraning nata.

Dhasar nagari gedhe abore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adhoh kuncarane. Boten namung ing tanah jawi kemawon ingkang sami sumujud, sanadyan para narendra ing mancanagari kathah ingkang sumawita tanpa karana ginebaging bandayuda, among kayungyun marang popoyaning kautaman. Bebasan ingkang celak manglung, ingkang tebih tumiyung. Saben antara mangsa sami asok bulubekti, glondhong pangareng-areng. Peni-peni reja peni guru bakal guru dadi mas picis rajabrana minangka panungkul. Sinten ta jujuluking narendra ingkang anglenggahi dhamparing kaprabon. Wenang den ucapna jujuluking nata, ajejuluk Prabu Sri Batara Kresna, Harimurti, Padmanaba, Kesawa, Narayana, Wasudewa, Wisnumurti, Danardana, Janardana. Mila jejuluk Sri Batara Kresna, dene cemeng sarirane trus balung sungsum ludirane, yen ayama ayam cemani, kenging kinarya sarana. Nadyan Srinata dadi sarana ungguling prang Bharatayuda darah Pandhawa. Arimurti luwih padhang, dene wruh sadurunge winarah.

contoh janturan:

Ing pagelaran Jawi andher sowane para mantra bupati beg amber mbalapar ngantos dumugi sanjawining taratag kaya ndhoyong-ndhoyongna pancake sujining alun-alun para wadya kang samya nangkil. Abra busananing wadya yayah sekar setaman. Ing alun-alun papanjen umbul-umbul bendhera lalayu paying agung miwah bawat tinon angendanu pindha mendhung kaya nyurem-nyuremna sorote Sang Hyang Pratanggapati. Dene ingkang anindhihi ing pagelaran inggih ta Rekyana patih Udawa, bagus warnane sembada prawireng yuda mumpuni salwiring guna ing aguna, putus sandining weweka dhasar ambeg paramarta tansah angresepi saisining praja marma wong sapraja wedi asih lahir trus ing batin. Kacarita ing pagedhongan sri narendra arsa mangun boja wiwaha. Lire boja dhedhaharan, wiwaha darbe karya. Yektine sang nata arsa mantu. Sinten ta ingkang den unggar-unggaring karya, tuhu rayi nata putrid ing Banoncinawi asesilih dewi wara Sembadra ginadhang dhaup lan raden Arjuna satriya ing Madukara.

Keempat penutup disebut wasana menjelaskan bahwa, Sang nata akan mulai dialog (Ginem). Permainan gending berhenti (suwuk). Bagian keempat penutup (wasana) contohnya adalah sebagai berikut:

Ing pagedhongan sang nata sampun ndhawuhaken manguyu- uyu, mangka dereng ngaturi uninga ingkang raka nata ing Mandura Prabu Baladewa. Mila mangkana pangudyasmaraning driya “Iya jagad dewa batara, yen kaka prabu miyarsa mendah saiba dukane.

Demikianlah Janturan jejer I. Di sana dijelaskan, bahwa raja Kresna akan menikahkan adik yang bernama dewi Wara Sembadra. Selanjutnya Janturan jejer II, Janturan jejer III dan seterusnya. Secara structural akan tersusun seperti pada Janturan jejer I, yaitu berupa Adangiyah, Pambuka, Isi dan diakhiri dengan penutup (Wasana).

Tentunya ada perbedaan, misalnya waktunya lebih pendek secara otomatis susunan kata-katanya pun akan lebih pendek pula. Demikian juga Adangiyahnya pun tentu berbeda. Lebih-lebih isinya, pasti akan berbeda jauh. Sedangkan pambuka dan panutupnya meski berbeda, tetapi tidak terlalu jauh. Bahkan bisa juga dilakukan dengan cara mengarang sendiri, atau membaca karangan orang lain. Jika memang sudah memiliki perbendaharaan kata cukup maka Janturan jejer bisa dilakukan secara improvisasi. Namun seyogyanya tidak meninggalkan struktur.

Yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap pergantian jejer harus menggunakan singgetan (wayang gunungan ditancap di tengah-tengah jagadan), sebagai tanda aleh tempat. Sebelum kayon dicabut untuk tanda akan ke jejer lanjutan dimulai, sang dalang mengucapkan kalimat Adangiyah demikian, contoh:

Anenggih sinigeg gantya ingkang winursita ing kawi, ingkang wonten nagari…, candrane kaya surya kalingan mega.

(sasmita / tanda dalang minta gending Remeng Slendro pathet Nem) Selanjutnya dalang harus memilih kata untuk disusun sebagai pambuka janturan jejer lanjutan, contoh:

Minangka sambunging carita, seje panggonane, nanging bareng angkate. Punika ta gelare nagari…………

Sedangkan untuk isi, dalang harus melanjutkan memilih kata sebagai sarana untuk mengungkapkan kondisi alam suatu negara atau pertapaan, pedesaan yang sedang jejeran. Ada beberapa hal yang harus diucapkan sang dalang di antaranya yaitu mengenai kondisi alam dari suatu negara atau pertapaan atau pedesaan, nama raja atau nama pendeta atau tokoh pedesaan, yang sedang dialami raja, pendeta atau tokoh pedesaan. Sebagai penutup (pamungkas atau wasana) tidak berbeda jauh dengan contoh Janturan jejer I.

2. Ginem
Ginem adalah dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain dalam seni pertunjukkan wayang purwa Jawa. Ginem dalam pewayangan harus terucap jelas agar para penonton serta pendengar bisa mengerti dengan mudah dan memahaminya, sehingga pesan-pesan yang bersifat mendidik akan mudah diterima oleh masyarakat.

Ginem dalam penyajian wayangnya diatur berdasarkan suara bilah gamelan, misalnya dalam kawasan waktu pathet Nem suara tokoh Kresna mengikuti laras pada bilah 2, dan apabila dalam lingkungan pathet Sanga mengikuti laras pada bilah 1, dalam pathet Manyura mengukuti laras pada bilah 2. Suara tokoh Duryudana dalam pathet Nem mengikuti bilah 6, dalam pathet Sanga mengikuti bilah 1 dan dalam pathet Manyura mengikuti suara bilah 6.

Sedangkan tokoh wayang lainnya bisa dilakukan dengan cara mendasar pada bentuk wayang (wanda). Secara structural, ginempun juga tersusun seperti pada janturan, yaitu terdiri dari bagianbagian, yaitu Adangiyah, Pambuka, Isi, dan Wasana. Contoh ginem:

Kresna : Jagad dewa batara wayah batara jagad. Nganti sapandurat kalepyan yen den adhep para nayaka myang Santana . (Adangiyah). Kulup Samba apa baya ora dadi guguping atinira ingsun piji aneng ngarsaningsun (Pambuka)

Samba : Kawula nuwun-nuwun sareng kula tampi dhawuh timbalan paduka, dhahat guguping manah, nalika wonten jawi kados sinamber gelap tuna, tinubruk ing mong tuna, upami uninga gebyaring caleret tuhu mboten uninga dhawahing gelap, raosing manah kumepyur kados panjang putra dhumawahing sela kumalasa, upami kambengan salamba pinanjer ing madyaning alun-alun katiyubeng samirana sakalangkung anggen kula kumejot kumitir carob wor lan maras, sareng dumugi ing ngarsa nata, asreping manah kula kados siniram toya ing wanci enjing, babar pisan datan darbe maras. Kawula nuwun-nuwun………………

Dialog Raden Samba yang no. 2 di atas merupakan dialog yang masih berada pada bagian pambuka, dan dialog pambuka ini juga diisi dengan ucapan selamat kepada kawan bicara (bage-binage). Bage-binage tersebut biasanya agak panjang, sebab tokoh yang dikelirkan juga banyak. Sekarang contoh dialog pada bagian isi.

Kresna : Kulup Samba, seje ingkang ingsun pangandikake. Mungguh bakal gawene bibinira Bratajaya dhaup lan pamanira Premadi. Ing samengko kurang pirang dina, lan kang padha nindakake pakaryan tarub-tarub makajangan ing para mantri bupati sarta pondhok-pondhok apa wus rumanti?

Samba : Kawula nuwun-nuwun kangjeng dewaji. An dangu badhe damelipun kanjeng bibi Bratajaya, namung kirang sacandra kalenggahan punika. Dene panggarap-ipun tarubtarub makajanganipun para mantri bupati sampun sami paripurna sadayanipun. Dalah para among tamu sarta sapasren-pasrenipun sampun sami mirantos, malah sampun wiwit manguyu-uyu. Kawula nuwun- nuwun…….

Kalimat-kalimat ginem di atas hanya merupakan cuplikan saja. Berisi tentang persiapan menjelang akan adanya perhelatan perkawinan dewi Wara Sembadra. Namun yang perlu diamati adalah susunan kata-katanya yang indah, berdasarkan unggah-ungguh basa yang benar.

Seperti sastra-sastra yang tergabung dalam sastra pedalangan lainnya, sastra antawacana pada bagian ginem-pun terkandung unsur-unsur purwakanthi (kalimat bersajak), tingkatan bahasa (unggah-ungguh basa), tata bahasa (paramasastra), kalimat emosional (ukara sesumbar) dan lain sebagainya. Kalau di depan diberikan contoh tentang kalimat ginem dalam kondisi yang tenang, maka dibawah ini adalah contoh ginem pada saat dua tokoh bersitegang. Dalam hal ini ki dalang saat memilih kata harus jeli, karena akan memilih kalimat emosional (ukara sesumbar). Contoh prajurit berhadapan dengan prajurit.

Prajurit 1 : Hayo, yen pancen sugih kendel, bandha wani tandhingana aku

Prajurit 2 : Waaaaahh, sumbarmu kaya bisa mutung wesi gligen. Kaya lanang-lananga dhewe. Apa wis sacengkang kandele kulitmu. Hayo dak teter kaluwihanmu.

Prajurit 1 : Heeee…… majua sayuta ngarsa, sakethi wuri ora bakal mundur sajangkah

Prajurit 2 : Kopat-kapita kaya ula tapak angin, kekejer kaya manuk branjangan, lena pangendhamu kena dak saut, sabetake prabatang sirna ilang kuwandhamu!

Prajurit 1 : Tumengaa ing akasa tumungkula ing pratiwi dak tebak dhadhamu sumyur…..

Contoh ginem raksasa melawan satriya:

Raksasa : Yen kena tak eman, hayo balia

Satriya : ora gawar, ora ana kentheng sarta tan ana awer-awer kena apa ngalang-alangi laku?

Raksasa : Ndhas buta pating jenggeleg kang minangka gawar kentheng

Satriya : Ndhas buta pating jenggeleg dak sampar dak sandhung rambute nggubed ana ing suku dak tigas curiga lebur tanpa dadi

Raksasa : We lha dala. Ora kena dieman. Wani kowe karo aku

Satriya : Apa sing dak wedeni?

Raksasa : He…satriyaaaa…..dhuwurmu cendhek, gedhemu cilik.

Satriya : Ora ana satriya Nempiling ndhase buta ndadak nganggo ancik-ancik

Raksasa : Kecek sugih japa mantra

Satriya : Ora watak satriya maguru bathangmu

Raksasa : Ngati-ati dak paribasakake timun mungsuh duren dak bruki remuk dak glundhungi ajur

Kalimat-kalimat ginem di atas dalam kasusasteraan Jawa sering direkayasa menjadi kalimat tembang Macapat. Misalnya cerita Partakrama R.Ng. Sindusastra ada yang dibentuk dalam tembang.

Tembang Pangkur:
Denira arsa mangsulana,
Wrekodara krodha sru turireki,
Eh pambarep kadangingsun,
Aja mangsuli sira,
Ingsun ingkang mangsuli prakara iku,
During tutug wong Astina,
Nggone ngajak ora becik.
Tekan si Bule Mandura,
Wiwit milu-milu atining iblis,
Jalithenge teka katut,
Yen pareng karsanira,
Si Janaka ingsun arak sesuk esuk,
Sarta sun payungi gada,
Sun iring kaprabon jurit.
Pangantene wadon kana,
Si Bule kang amayungana bindi,
Kurang kurawa kang wuwuh,
Kang njajari gegaman,
Mring panganten sun tunjange ganjuringsun,
Singa tiwas ing ayuda,
Kang raka datan nauri.

3. Pocapan
Seorang dalang disamping mengucapkan janturan jejer juga sering memberikan penjelasan kepada para penonton atau pendengar dengan melalui sebuah narasi yang mengungkapkan tentang kejadian di suatu tempat atau kejadian yang sedang dilakukan oleh seorang tokoh wayang, atau kejadian itu baru akan dijalankan. Ungkapan-ungkapan melalui narasi itulah yang dimaksud dengan pocapan (pa-ucap-an atau pa-omong-an). Kalimat kejadian yang dimaksud adalah seorang tokoh bertamu, seorang tokoh melamun, bersemedi, seorang tokoh dirundung kesedihan, seorang tokoh yang sedang jatuh cinta (gandrung), seorang tokoh yang akan berangkat ke medan perang, kejadian sesudah perang, kejadian sedang geger, bencana alam, dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh pocapan seorang tokoh yang bertamu ke suatu negara, Prabu Baladewa bertamu ke suatu negera.......,biasanya pocapan dimulai dari negara yang akan menerima kehadiran Prabu Balawadewa, misalnya:
Reg reg reg, wauta gumeder, gumarenggeng, gumuruh
swaraning janma padha salang-tunjang kaya gabah den iteri
kaya jebug sinemburan, bledug mangampak-ampak, cingak
para mantra bupati kang padha sumewa temahan sami
taken tinakenan “hehehe dialon kanca, dialon kanca..”

Pocapan di atas terungkap untuk penggambaran di pihak negara yang akan kedatangan tamu. Hal Ini dilakukan sebagai tanda hormat suatu negara kepada Prabu Baladewa. Selanjutnya apabila tamu sudah berada di dalan pasewakan, dalang kembali pocapan, misalnya:
Lah ing kana ta wau, dupi srinarendra kakalih nenggih Prabu
Duryudana kalayan Prabu Baladewa sampun aben
ajeng nulya gapyuk rerangkulan samya kangen-kangenan.
Saparipurnaning rerangkulan nulya samya lenggah sekeca.
Kakalih-kalihipun yen sinawang saking mandrawa candrane
pindha Sang Hyang Bhathara Sambu miwah Bhathara
Brahma angejawantah neng jagad sigra andum bagya. Prabu
Baladewa rawuh ing nagari Astina mahanani sepi sidhem
ing pasewakan wit kaprabawan maring pangaribawaning
nata Mandura kang amengku gati. Mangkana pangandikane
prabu Duryudana : “kaka prabu, sakecakna”!

Pocapan / Kandha Bedholan Jejer I (gaya Jawatimuran)

Parpurna pangandikaning sang nata Sri Batara Kresna
sigra paring sasmita kundur angedhaton. Tedhak jog saking
palenggahan “dhampar dhenta” Kadherekaken para emban
cethi biyada srimpi manggung ketanggung jaka palara-lara,
sami ngampil pirantining kanarendran. Tindake sang nata
ngagem bungkul kencana, keclap-keclap kinarya tindak
amecak. Sapecak mandheg sapecak tumoleh. Sri nata datan
karsa mriksani adi rengganing gapura. Laju manjing kadhaton
trus kadhatulaya, kapapag garwa prameswari tetiga.
Sagunging para seba nuli bibaran saking sitinggil solahe
kaya seinamberan dhandhang.
(Ki Dalang Cung Wartanu, Mojokerto-an 1979)

Pocapan / Kandha Semedi
Sri Batara Kresna dupi manjing kedhaton sarta sampun kapapag
ingkang garwa tetiga nulya manjing sanggar pamujan
sarwi ngagem busana sarwa seta, sigra nenuwun dhateng
panguwasane batara srana semedi. Traping Semedi
kanthi sedhakep asta, suku tunggal. Sedhakep wus ngarani,
asta tangan, tunggal kumpul. Tegese Srinata ngeningaken
ciptane, ngempalaken pancaindriyane nutupi babahan
hawa sanga. Mandeng pucake grana mandeng nyawang,
pucak pucuk, grana irung. Lire sajuga kang sinidikara. Keplasing
cipta amung sawiji kang sinedya, sowan marang
ngarsane Sang Hyang Pramesthi Guru, amung nyuwun pangayoman
mrih wudharing reruwet.
(Ki Dalang Cung Wartanu 1979)

Kandha / Pocapan Ajar Kayon
Bubaring para seba kanthi tandha tengara panabuhe beri,
swarane gumonthang mengungkang-ungkang saksad sundhul
ing akasa.Tineteg, tinitir kaya pecaha-pecaha, kaya
butul-butula. Sepisan tandha pasewakan bubaran, ping pindho pratandha ana prakara. Patih Kala Rangsang duta saking
nagari Rancang Kencana dutane Prabu Kala Kumara
sigra den pilara Prabu Baladewa. Mila ribut sagung para seba.
Pating sliri pating bilungkung pindha kawula ngluru bendara,
bendara ngluru kawula. Solah nganti kaya gabah den
interi. Golong-golong mangulon, golong-golong mangetan
candrane kaya sela blekithi. Sela arane watu, blekithi semut,
kaya semut lumaku ana sak ndhuwure watu mujudake
barisan kaya prajurit ngadhepi bebaya.
(Ki Dalang Cung Wartanu 1979)

Pocapan Kresna Semedi
Kacarita, Sri Batara Kresna sigra patrap semedi maladi hening,
sedhakep saluku juga nutupi bahahan hawa sanga,
ngeningaken pancadriya. Panca ateges lima, driya pangangen-
angen, sekawan kang binengkas sajuga kang sinidikara
anut lebu wetuning bajra herawana kinarya nut laksitaning
brata, ana rupa tan dinulu ana ganda tan ingambu, ana
swara tan rinungu. Hanapas hanupus pan yayah mati sajroning
urip, amung warana ingkang taksih lumaris, campur
kalayan layap liyeping aluyup, pindha pesating sukma sumusup
ing rasa jati sejatine tumlawung. Jagad wus rinegem
dadi sawiji amung kari samrica binubud. Dudu jagad kang
gumelar, nanging jagade Sri Kresna kang wus datan kaendhih
dening Sir-Budi-Cipta-Rasa, amung kari satata nedya
hormat ingkang tanpa karana. Datan antara dangu wus antuk
wewengan bakal kasembadan sasedyane nanging yaamung
sinimpen ing driya, temahan amung nalangsa marang
kang akarya jagad saisine. Dhasar Sri Batara Kresna
narendra kang widagda ulah puja.
(Kastana-Supriyono-Partakrama Pakeliran Gaya Surakarta 2003)

Demikianlah beberapa contoh pocapan. Sebenarnya masih banyak lagi pocapan yang harus ditampilkan dan diungkapkan oleh dalang selama penyajiannya. Hampir setiap jejeran dan adegan dari awal hingga akhir pertunjukkan, dalang selalu bernarasi (pocapan).

Ada pocapan yang dalam suasana tenang, merdeka tetapi juga ada pocapan yang bersitegang, keras, emosional sehingga dalam sajian harus bersama dengan dhodhogan kothak dan ucapannya lebih keras. Para ahli nabuh gamelan mengatakan bahwa grimingan gender, dalam mengiringi pocapan yang tegang, harus grimingan ada-ada (vokal dalang dalam suasana tegang), misalnya pocapan tokoh Gathotkaca ketika akan terbang. Demikian juga pocapan tokoh Wrekodara mlumpat (meloncat) dan ketika seorang bang-bangan (bambangan) akan masuk hutan (alas-alasan) dalam suasana tegang, maka dhodhogan, grimingan gender ada-ada harus mengiringinya.

Berbeda dengan pocapan yang dalam susana merdeka, maka grimingan gender menggunakan grimingan pathetan, tanpa dhodhogan kothak.

Dalam pertunjukkan wayang kulit Jawatimuran, pocapan ini pasti ditopang dengan iringan gending/lagu yang dilagukan oleh alat gamelan yang lembut: slenthem, gambang, siter, gender babok, suling yang diawali gender lanang yang dinamakan gadhingan.

Contoh pocapan alas-alas :
Laju lampahira wong bagus sang hamara tapa satriya ing
Plangkawati kekasih Raden Angkawijaya ya Raden Abimanyu,
kadherekaken abdi panakawan catur Semar-Gareng-
Petruk lan Bagong. Purna angambah geriting ancala tepining
waudadi. Sigra laju manjing wana wasa. Wana gung liwang
liwung alas angker gawat kaliwat sabab dadya panonopane
jim setan peri parayangan engklek-engklek balung
atandhak. Bebasan sato mara sato mati, janma mara janma
mlayu.Tan ana janma wani mlebu mring wana Tri Baya, sapa
wani bebasan mulih kari aran. Nanging dupi katrajang
marang lampahe sang abagus Raden Angkawijaya sadaya
buron alas samya bubar lumajar salang tunjang. Yen ta bisa
tatajalma teka mangkana pangucape: ”He para kanca
padha piyak sumingkira, aja wani-wani midak wayangane
mesthi lebur tanpa dadi, sabab iki dudu wong lumrah nanging
maksih turasing kusuma rembese madu, wijiling kang
handanawa rih.” Sak-sak-sak-sak gropak gedebug sanalika
kaya sinapon jumedhule para raseksa sigra ngamuk panggung
marga liwung.

Pocapan alas-alasan di atas dapat dipakai untuk bambangan yang lain. Artinya bukan hanya tokoh Abimanyu saja.Tokoh pewayangan yang tergolong bambangan kecuali Abimanyu yaitu Raden Irawan, Bambang Priyambada, Pramusinta, Nakula dan Sadewa ketika masih muda dan mungkin masih ada lagi. Disebut tokoh bambangan karena usia tokoh tersebut masih muda, masih sendirian dan baru saja lolos dari perguruan di mana sebagai gurunya adalah seorang pandhita, pertapa, begawan, resi, maharsi, wasi dsb. Sebutan bambangan berasal dari bahasa Jawa. bang-bang-an yang mulanya dari kata bang berarti harap. Bang-bang-an berarti pengharapan. Gelar atau sebutan bang-bang-an (bambangan) diperoleh oleh seorang pemuda yang sudah memiliki semua ilmu pengetahuan, perang dan berulah senjata, guna kasantikan, pengetahuan tentang lahir dan batin (kesaktian) yang didapat dari seorang guru/pendeta di pertapaan. Pertapaan (pertapan) biasanya berada pada tempat jauh dari kehidupan masyarakat ramai atau jauh dari kota, dan pada umumnya pertapaan berada di lereng gunung, di tepi hutan dan di pedasaan. Oleh karena itu bambangan sering disebut satriya gunung. Bila hal ini dilakukan oleh seorang gadis, maka gadis itu mendapatkan sebutan/gelar yaitu Endang yang artinya gadis gunung. Jadi pada hakikatnya satriya gunung atau gadis gunung adalah sebuah generasi harapan yang harus bisa dan mampu untuk meneruskan perjuangan para generasi sebelumnya.

Bila generasi bambangan ini merupakan generasi harapan maka lamanya pendidikan tidak ditentukan oleh waktu bulan atau tahun, melainkan sangat tergantung kepada calon bambangan itu sendiri. Mereka dituntut menjadi seorang bang-bangan (bambangan) yang berkualitas. Sang guru pun ikut menentukan bagi selesainya para calon bambangan. Bila sang guru sudah mengatakan bagus (paripurna) maka sang bambangan bisa melanjutkan kariernya sebagai satriya yang harus menunjukkan karya-karyanya bagi keluhuran
nusa dan bangsa.

Mengamati kondisi bambangan yang begitu berkualitas, maka para dalang dalam penggambaran pocapan bambangan diungkapkan melalui pemilihan kata dengan bahasa Jawa yang luhur dan lungguh (pantas). Dalam pocapan bambangan ini, sang dalang harus mengucapkan dengan bersama-sama dhodhogan dan dengan nada emosional. Demikian pocapan yang penyajiannya sebagai narasi, menjelaskan sebuah perilaku seorang tokoh pewayangan baik raksasa, satriya yang dikaitkan dengan kondisi alam.

Komentar