Sastra Gending

Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggunakan gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan mengutamakan masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesusasteraan yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering terdengar istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak, senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, cengkok, merong, dan pedhotan.

1. Syair (Cakepan).
Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemudian tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi jangan salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tembangnya, melainkan kata-katanya.

Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memuat parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya.

Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernyanyi dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dimengerti dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (suara senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas.

2. Bawa / Buka
Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gending yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gending juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya menggunakan instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga dengan Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan menggunakan Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Bawa dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tumpang tindih suasananya.

3. Jineman
Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan secara bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah panembrama.
Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dilagukan oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus (Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Kenong, contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan sebagainya.

4. Umpak
Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi, khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau salah satu alat gamelan.

Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata (cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua baris yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora jujur. Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran.

Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa purwakanthi. Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Jawa disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kembang disebut purwakanthi aksara.

5. Senggakan
Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagukan dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wadon seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain.

Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan senggakan yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho.., ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin semarak dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terungkap dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gembira, suka cita dan menyegarkan jiwa.

6. Gerong
Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang diambil dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu, misalnya:

Kinanthi
Nalikanira inga dalu
Wong agung mangsah semedi
Sirep kang bala wanara
Sadaya wus samiguling
Nadyan ari sudarsana
Wus dangu nggenira guling
Pucung
Ngelmu iku kalakone kanthi laku
Lekase lawan khas
Tegese khas nyantosani
Setya budya pangekese durangkara
Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, misalnya:

Juru Demung
Cirine serat iberan
Kebo bang sungunya tanggung
Saben kepi mirahingsun
Katon pupur lelamatan
Kunir pita kusut kayu
Wulu cumbu madukara
Paran margining ketemu
Balabak
Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur
Dedege
Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok
Jenggote.
Girisa
Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginarbeging
upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang
manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata
ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya.

Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditembangkan itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Sebagian besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa bagi semua umat manusia.

Sindhenan
7. Sindhenan.
Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan berasal dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu tegur, disendhu artinya ditegur.

Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetembangan. Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimat-kalimat bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun purwakanthi.

Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan:
sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak),
wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa),
kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan
mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sarira
(kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngrekapuspa
(nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar)
Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa
(pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang,
golek krawuh mrih kaonang.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesindhen dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bisa disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia.

8. Irama
Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk mengatur jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Irama lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama dadi, juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah, Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng Andhengan. Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi.

9. Cengkok
Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa cengkok itu kedalam tabuhan.

10. Merong
Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,contoh Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh Pesindhen.

11. Pedhotan
Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih sering di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) disebut Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut Andhegan.

Selanjutnya perlu diketahui dari cakepan sampai dengan Pedhotan yang merupakan unsur-unsur Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panembahan Senapati Mataram tembang Sinom, contoh:
Marma sagung trah Mataram,
kinen wignya tembang kawi,
jer wajib ugring ngagesang,
ngawruhi titining ngelmi,
kang tumraping praja ‘di,
yembang kawi asalipun,
tan lyan titining sastra,
paugeraning dumadi,
nora nan kang liya tuduhing sastra.

Komentar