Suluk Malang Semirang

Suluk Malang Semirang ditulis oleh Sunan Panggung tatkala masuk ke dalam tungku perapian (tumangan) yang dipakai untuk membakar orang yang dianggap salah oleh pemerintah Demak sebab merusak syarak. Buku ini berisi tentang perilaku kehidupan yang sudah sampai pada kejatiannya. Suluk Malang Semirang terdiri dari tembang Dhandhang Gula. Di bawah ini cuplikannya sebanyak 3 bait:

Suluk Malang Semirang
dosa gung alit tan den singgahi,
ujar kufur kafir kang den ambah,
wus luwung pasikepane,
tan adulu-dinulu,
tan angrasa tan angrasani,
wus tan ana pinaran,
pan jatine suwung,
ing suwunge iku ana,
iang anane iku surasa sejati,
wus tan ana rinasan.
pan dudu rasa karaseng lathi,
dudu rasaning apa ‘pa,
lawan dudu rasa kang ginawe,
dudu rasaning guyu,
dudu rasa kang angrasani,
rasa dudu rarasan,
kang rasa anengku,
sakehing rasa kurasa,
rasa jati tan karasa jiwa jisim,
rasa mulya wisesa.
kang wus tumeka ing rasa jati,
sembahyange tan mawas nalika,
lir banyu milih jatine,
tan ana jatinipun,
muni-muna turu atangi,
saresiking sarira,
pujine lumintu,
rahina wengi tan pegat,
puji iku rahina wengi sireki,
akeh dadi brahala.

Terjemahan:
dosa besar kecil tak disingkiri,
perkataan kufur kafir yang diturut,
telah mabuk akan kelengkapannya,
tiada pandang memandang,
tiada merasa tak pula melepas rasa,
tiada lagi yang (harus) dituju,
memang sesungguhnya kejatiannya kekosongan,
dalam kekosongan ada hadlir,
dalam hadlir itu tersimpan makna sejati,
tak ada yang harus dirasakan.
Bukanlah rasa terasa di bibir,
bukannya lagi rasa apa apa,
bukan rasa sesuatu yang dibuat,
bukan rasa tertawa,
bukan rasa melepas rasa,
rasa bukan untuk dirasakan,
rasa yang meliputiku,
semua rasa yang terasa,
rasa jati tak terasa roh jisim,
(yaitu) rasa mulia kuasa.
Yang telah sampai pada rasa jati,
sembahyang-nya tiada pandang waktu,
pada hakekatnya laksana air mengalir,
tiada jatinya,
barang dikatakan tidur atau jaga,
barang yang di angan,
pujinya terus mengalir,
tak putus siang dan malam,
pujiannya siang malam,
banyak menjadi berhala.

Demikian sastra suluk di bagian kedua yang tergolong suluk ilmu gaib. Tentu bukan hanya seperti yang tertulis di atas. Itu hanya sebagai contoh diambil sebagai gambaran saja. Masih banyak suluk ilmu gaib yang semua itu merupakan ajaran-ajaran rohani bagi umat manusia, khususnya masyarakat Jawa.

Seperti beberapa contoh di atas, bahwa suluk ilmu gaib biasa disebar dan diajarkan melalui tembang-tembang Jawa dengan sebagian besar berbentuk Tembang Macapat. Dari tembang-tembang Macapat ini oleh para dalang sering diambil menjadi sebuah wejangan dalam adegan-adegannya, meskipun tidak ditembangkan. Beberapa dalang mungkin hanya mengucapkan kalimatnya secara utuh, namun ada juga yang mengucapkan secara apa yang tersirat. Baik yang secara ditembangkan maupun diucapkan saja, yang jelas kesemuanya itu adalah Pitutur Luhur bagi penonton masyarakat agar berperilaku suci.

Komentar