Suluk Wujil

Suluk Wujil
Kitab suluk wujil berisikan ajaran Sunan Bonang kepada seorang bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajarannya tentang mistik. Dalam suluk wujil memuat tembang yang bermacam- macam sejumlah 104 pupuh.

Kitab suluk wujil ini di dalamnya berisikan sebuah kalimat berbunyi Penerus Tinggal Tataning Nabi. Artinya, Penerus menyatakan bilangan 9, Tinggal menyatakan bilangan 2, Tata menyatakan bilangan 5 dan Nabi menyatakan bilangan 1. Jadi kalimat itu menyatakan bilangan tersusun menjadi 9251. Kalimat yang setiap katanya menyatakan sebuah bilangan seperti di atas, dalam kesusasteraan Jawa disebut Sengkalan. Setelah terjemahannya berujud angka, maka pembacaannyapun harus dibalik. Jadi bila jajaran angka itu berupa 9251, maka akan terbaca menjadi 1529. Jajaran angka terbalik inilah yang akan dinyatakan sebagai angka tahun, yaitu tahun 1529, pada jaman kerajaan Mataram diperintah oleh Ramanda Sultan Adung, yaitu Sinuhun Seda Krapyak. Dengan demikian jelas bahwa Kitab Suluk Wujil ini sudah ada sejak jaman Mataram. Di bawah inilah petikan tiga bait tembang Suluk Wujil, berupa sekar Dhandhang Gula:

dipun weruh ing urip sejati,
lir kurungan raraga sadaya,
becik den wruhi manuke,
rusak yen sira tan wruh,
hih ra wujil salakuneki,
iku mangsa dadya,
yen sira ‘yun weruh,
becikana kang sarira,
awismaa ing enggon punang asepi,
sampun kacakrabawa.

Terjemahan:
hendaklah tahu akan hidup sejati,
bagaikan sangkar badan ini,
sebaiknya diketahui oleh sang burung,
celaka bila tuan tak tahu,
wahai sang wujil akan segala peri kelakuan tuan,
tak akan bisa tercapai itu (oleh tuan),
jika tuan ingin tahu,
sucikanlah,
tinggallah di tempat suci,
yang tak diketahui orang.


aja ‘doh dera ngulati kawi,
kawi iku nyata ing sarira,
punang rat wus aneng kene,
kang minangka pandulu,
tresna jati sarira neki,
siyang dalu tan awas,
pandulunireku,
punapa rekeh prayitna,
kang nyateng sarira sakabehe iki,
saking sipat pakarya.

Terjemahan:
tidaklah tuan jauh-jauh mencari kawi,
kawi itu sungguh berada pada diri prabadi,
semesta alampun telah rekandung di dalamnya,
yang akan menjadi alat untuk melihat,
cinta sejati akan diri tuan,
ngat-ingatlah siang dan malam,
akan penglihatan tuan itu,
apakah (di manakah) tempat itu,
yang nampak pada tubuh secara menyeluruh,
yang muncul sifat fa’al.

mapan rusak kajtinireki,
dadine lawan kaarsanira,
kang tan rusak den wruh mangke,
sampurnaning pandulu,
kang tan rusak anane iki,
minangka tuduh ing Hyang,
sing wruh ing Hyang iku,
mangka sembah pujinira,
mapan uwis kang wruha ujar puniki,
dahat sepi nugraha.

terjemahan:
memang rusak keasliannya,
akibatnya ada pada diri tuan,
oleh karena itu yang tidak rusak hendaklah tahu,
kesempurnaan pandangan,
dan yang tidak rusak ini,
akan menjadi petunjuk untuk menuju ke tempat Tuhan,
yang tahu akan Tuhan,
sembah pujinya akan diterima,
memang jarang yang tahu akan sabda ini,
dan sangat sepi dari anugerah.

Komentar