Sumber Cerita Pewayangan

Sumber Cerita Pewayangan
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ada penyelenggaraan seni pertunjukan wayang kulit purwa Jawa, dapat dipastikan si dalang akan menceritakan lakon tentang Rama, Sinta, Rahwana atau Pandawa dan Kurawa. Hal ini menyatakan bahwa sumber cerita wayang kulit purwa Jawa adalah mengambil dari epos Ramayana dan Mahabharata. Kedua epos ini berupa buku yang dibawa oleh orang-orang Hindu masuk ke bumi Indonesia sekitar abad ke-5.
Sampai sekarang cerita Ramayana dan Mahabharata ini sangat populer di hati masyarakat Indonesia, terlebih di hati para dalang. Cerita Ramayana dan Mahabharata ini benar-benar dihayati sampai detail.

Karena buku ini dibawa orang Hindu aliran Siwa, maka tokoh pewayangan Batara Siwa atau Batara Guru diabadikan oleh para dalang Jawatimuran dengan cara diletakkannya tokoh tersebut di atas simpingan di sebelah kanan dalang. Demikian juga pada simpingan kiri dalang, di atasnya diletakkan tokoh Batari Candika atau Dewi Maut yaitu Durga yang merupakan saktinya Batara Siwa. Dalam falsafah Jawa, saktinya sama dengan istinya.

Perlu dijelaskan keterkaitan pengabdian kedua tokoh yaitu Siwa dan Durga dalam pewayangan Jawatimuran masih tersambung dengan pernyataan adanya tokoh Semar dan Bagong yang sebelum pertunjukan dimulai telah ditancapkan di tengah-tengah layar wayang kulit (jagadan). Hal ini mengandung pengertian bahwa pada hakekatnya keempat tokoh yaitu Siwa, Durga, Semar, dan Bagong adalah satu, yaitu sebagai manifestasi Sang Hyang Maha Tunggal dalam mengelola karya AgungNya. Siwa dan Durga sebenarnya adalah satu artinya suami isteri adalah dua yang menjadi satu. Semar dalam menjalankan karyanya menginginkan pasangan sehingga ia mencari teman. Kemudian mencipta bayangannya sendiri dan muncullah Semar bayangan yang dinamakan Bagong. Jadi Semar dan Bagong sebenarnya adalah satu. Semar sama saja dengan Bagong, Bagong tidak berbeda dengan Semar.

Tokoh Semar sering juga disebut Batara Ismaya adalah saudara tua Batara Siwa yang juga bernama Batara Manikmaya dari Buah Karya Sang Bapa Sang Hyang Maha Tunggal (Jawatimuran: Sang Hyang Wenang). Buah karya Sang Hyang Maha Tunggal seluruhnya ada tiga, yaitu Sang Hyang Punggung yang disebut Togog, Sang Puguh atau Sang Hyang Ismaya yang disebut Semar dan Sang Hyang Siwa atau Sang Hyang Manikmaya yang disebut Batara Guru. Dalam pemberian hak kewenangan, Sang Hyang Maha Tunggal bersabda kepada ketiga puteranya ”Heh sira puteraku sakatelune pisan, sejatine sira iku ingsun, ingsun iku sira.”

Apa yang disabdakan sebenarnya merupakan pernyataan bahwa mereka adalah satu, Sang Hyang Tunggal tidak berbeda dengan mereka. Jika demikian Semar sama dengan Batara Siwa. Jika Batara Guru tidak berbeda dengan Semar, maka dapat disimpulkan bahwa Siwa, Durga, Semar, dan Bagong pun adalah tokoh yang satu yang tidak berbeda dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang yang menciptakan dunia seisinya.

Sekarang kita tengok kembali tokoh Semar dan Bagong yang ditancapkan pada jagadan bagian tengah, yang kedua mukanya ditutup dengan gunungan (kayon) dan masing-masing merangkul kayon. Hal ini melambangkan bahwa Sang Hyang Maha Tunggal (Maha Wenang/Kuasa) masih diam, belum bekerja. Sang Maha Kuasa (Tuhan) belum melakonkan kehidupan. Dunia masih sepi, sunyi belum ada hidup, belum terang, masih gelap, belum ada gerak. Setelah sang dalang menduduki tempatnya, ia akan menceritakan lakon melalui medium wayang. Ini sebuah lambang bahwa Sang Hyang Maha Kuasa (Tuhan) mulai menceritakan hidup dan kehidupan manusia di dunia fana ini.

Pendapat ini agak berbeda sedikit dengan pendapat Ki dalang Suleman, seorang dalang senior dari desa Karang Bangkal, Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Beliau berpendapat bahwa gambar Semar dan Bagong sebagai Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kuasa yang diam tetapi mengintip (nginjen) dunia yang akan dihidupkan. Kemudian gambar Batara Siwa dan Batari Durga, Ki Suleman menafsir bahwa kedua-duanya adalah yang satu dan yang menciptakan alam raya sedang meneliti dan melihat kondisi ciptaan-Nya. Bandingkan dengan kitab Purwaning Dumadi dalam Kitab Suci (alkitab) umat Kristen, “Ing dina kang kapitu bareng Gusti Allah wus mungkasi pakaryane anggone yeyasa, ing dina kang kapitu banjur kendel anggone karya samubarang kang wus kayasa iku” (Purwaning Dumadi 2:2).

Tentang penciptaan ini, bandingkan pula dengan kitab Ambiya dalam Kapustakaan Jawa tulisan Prof. Draden RM. Ng. Purbocaroko, ”Tatkala Tuhan mulai menciptakan dunia, mula-mula diciptakan cahaya, kemudian kentallah cahaya itu menjadi ratna lalu menjadi air dan buih, buih itulah yang kemudian menjadi langit yang tujuh” (Kapustakaan Jawa hal 140).

Dengan berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka penancapan wayang Semar dan Bagong di tengah jagadan dan Batara Guru serta Durga pada simpingan kanan dan kiri dalam seni pertunjukan wayang Jawatimuran merupakan akulturasi budaya Jawa Hindu yang perlu dilestarikan. Termasuk cerita Ramayana dan Mahabharata perlu dikembangkan dengan motivasi melalui seni pertunjukan wayang kulit purwa dan wayang wong yang kini perlu dibangun.

Pada pedalangan Jawa buku Ramayana dan Mahabharata yang sering disebut sebagai pakem cerita, telah membuat para dalang merasa kurang pas apabila sebuah tontonan wayang kulit purwa dalam sajiannya tidak menggunakan salah satu di antara kedua cerita itu. Akhirnya kitab Ramayana dan Mahabharatalah yang merupakan sumber ceritanya.

Komentar