Tembang Mijil

Tembang Mijil
Sagung pangkat kang sing alami,
Aywa sira raos,
Yeku apan warana jatine,
Marma singkirna aywa sira piker,
Terusa lumaris,
Nyenyandhang pitulung.
Samangsane sira sinung luwih,
Sing janma kinaot,
Poma aywa kasengsem den angge,
Nadyan katon solan-salin warni,
Singkirana kaki,
Ywa nganti kalimput.

Artinya:
Pangkat kemuliaan duniawi, kesenangan yang berada di dunia, kenikmatan duniawi,
Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak terpathok pada kenikmatannya duniawi,
Sebuah tirai. Maksudnya duniawi bisa menutupi jalan menuju kearah kesempurnaan pati,
Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak terpathok pada kenikmatannya duniawi,
Teruskanlah berperilaku yang menuju kepada kesempurnaan pati,
Mohon pertolongan kepada Tuhan, dapatnya hati ini terbuka sehingga mendapatkan jalan menuju kesempurnaan pati.
Pada saat kamu kaya berlebihan,
Manusia mampu berbuat semuanya,
Jangan sampai larut kepada keduniawian yang dimiliki oleh pribadimu,
Meskipun duniawi itu berganti-ganti warna, rupa dan tidak membosankan….,
Jauhilah mumpung masih bisa,
Jangan sampai tertutup pemikiran atau penalaranmu oleh duniawi sehingga lupa akan tujuan awal, yaitu kesempurnaan pati.

Jadi tembang mijil yang terdiri dari 2 ayat atau 2 podo dan memuat ajaran tasawuf ini merupakan tuntunan bagi manusia yang menghendaki kesempurnaan.

Mijil Pituture Sri Rama Marang Wibisana
Damaring praja’ja mati-mati
Sadege keprabon
aywa kandheg madhangi jagad
mangka panariking reh sayekti
ing pati pinanggih
kautameng prabu

Artinya:
Diyan atau obor yang menjadi obor daripada tubuh adalah hati atau pikir. Hati dan atau pikir adalah pelita hidup. Negara, tetapi dalam suluk ini yang dimaksud negara adalah tubuh,
Selama menjadi raja. Bagi ilmu kebatinan maksudnya adalah selama hidup di dunia,
Jangan berhenti menerangi dunia, maksudnya jangan berhenti berbuat baik,
Agar mendapat kesempurnaan yang semesthinya,
Kesempurnaan mencapai kematian,
Agar matinya bias atau mampu baik.

Tentu saja bila orang di dalam hidup dan kehidupannya senantiasa berbuat baik dan berbakti serta berbuat darma tentu matinya nanti akan mendapatkan kemuliaan sorgawi. Jadi dalam hal ini, sang Ramawijaya di dunia sebagai jelmaan Wisnu memberikan ajaran kepada seorang Wibisana yang telah bertaubat. Wibisana yang kesehariannya bertempat pada keluarga yang jahat, merasa disia-siakan oleh Rahwana kakaknya, maka atas pertolongan Anoman ia mengabdikan diri dan sanggup membantu bersama-sama menghilangkan laknat (iblis), yang berada pada diri kakaknya yaitu Rahwana. Akhirnya Wibisana menjadi murid Ramawijaya.

Buku-buku yang memuat suluk, kebanyakan muncul pada jaman Islam. Seperti misalnya suluk Sukarsa, suluk Wujil, suluk Malang Semirang. Di bawah ini petikannya:

Suluk Sukarsa / Lagu: Girisa (Pelog)

Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan,
kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak,
yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan,
kebirira lan sumungah ujub loba singgahana.

Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara,
Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah,
Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak,
Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar.


Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana,
Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan,
Linyaran amangun hak winelahan niat donga,
Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat.


Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at.
Den pulangi lan wicara den damari lan makripat.
Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat.
Kawasa denira layar wus tekeng segara ora.

Demikianlah suluk Sukarsa. Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, mengemukakan bahwa kitab suluk Sukarsa ini dalam bentuk tembang (ciri suluk), berupa çloka, yaitu tembang cara kuna. Logat bahasanya adalah bahasa Jawa Tengahan (pertengahan) yang muncul antara Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Baru. Çloka ini terdiri dari 4 baris, di mana setiap baris terdiri laku delapan dan delapan, sudah tidak berpatokan dengan Guru dan Lagu. Suluk Sukarsa empat itu merupakan bagian terakhir.

Adapun terjemahannya adalah:
Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan tentang tuntunan kesempurnaan, tak ada hitam pada putih,
bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelanpelan,
takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan.
Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, sebagai jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak memperhitungkan hidup atau mati,
lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan rusak,
bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa luas.

Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesabaran,
shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahuan,
dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan kemudi niat dan doa dengan segala permohonan, diakhiri dengan pertobatan.
Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggunakan
kana’at,
dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’ripat, si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan rakhmat,
selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada lautan
tiada (meninggal dunia?).

Komentar