Wayang Gedog

Arti istilah Gedog adalah, bahwa gedog tersebut berasal dari suara dog, dog yang ditimbulkan dari ketukan sang dalang pada kotak wayang yang terletak di samping dalang. Akan tetapi oleh sarjana-sarjana barat kata gedog ditafsirkan sebagai kandang kuda (bahasa Jawa: gedogan = kandang kuda). Dalam bahasa kawi gedog berarti kuda. Penafsiran lain kata gedog tersebut adalah batas antara siklus wayang Purwa yang mengambil cerita serial Ramayana dan Mahabharata dengan siklus Panji. Namun demikian sampai sekarang belum juga dapat ditafsirkan, mengapa kata gedog tersebut dipakai untuk suatu jenis wayang.

Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang kulit Purwa jenis satriya sabrangan. Hanya empat jenis muka yang terdapat pada wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut meringis bertaring (gusen), muka dengan mata kedondong muka dengan mata jahitan, dan muka dengan hidung besar di bagian depan (dempok). Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata, tetapi menggunakan cerita-cerita Panji.

Wayang Gedog tersebut terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging, terdapat pula yang terbuat dari papan yang diukir dan disungging, tetapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pementasan wayang ini diambil cerita Darmarwulan – Minakjingga, dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klithik.

Wayang Gedog (Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari, Ronggolawe, Prabu Klono Madukusumo)
Wayang Gedog
(Prabu Bromosekti, Raden Gunungsari, Ronggolawe, Prabu Klono
Madukusumo)
1. Wayang Klithik
Wayang Klithik mempunyai bentuk dan bahan khusus. Bentuknya menyerupai wayang kulit, yakni terdiri dari dua dimensi, dengan bahan yang terbuat dari kayu meskipun tidak sama dengan wayang Golek yang bentuknya tiga dimensi. Wayang Klithik tidak memakai gapit seperti wayang kulit sebab gapit-nya sekaligus merupakan lanjutan dari badan wayang yang terbuat dari kayu itu, dan berbentuk kayu pipih.

Menurut sejarahnya wayang Klithik terbuat seluruhnya dari kayu, namun karena berat selalu mendapat kesukaran untuk dimainkan, akhirnya wayang tersebut mengalami sedikit perubahan, yakni
dengan dibuatnya tangan wayang dari kulit. Seperti halnya dengan pembuatan pada wayang Golek, wayang Klithik tersebut juga diukir dan disungging.

Pergelaran wayang Klithik tidak menggunakan layar atau kelir, sehingga penonton dapat langsung melihat wajah sang dalang, tetapi pernah pula menggunakan kelir yang dibagian tengah terpaksa dilubangi selebar arena pergelaran. Sebagai tempat menancapkan wayang-wayang tersebut, maka dalam pergelaran wayang Klithik dipakainya kayu atau bambu tempat untuk menancapkan wayang (slanggan), yang diberi lubang sebesar tangkai wayang tersebut. Gamelan yang perlu disediakan untuk pergelaran wayang Klithik lebih sederhana, yaitu saron, kendang, kethuk-kenong, dan kempul barang tanpa menggunakan gong, karena kempul berfungsi sebagai gong. Untuk lampu penerang digunakannya blencong dengan minyak kelapa sebagai bahan bakarnya, namun dewasa ini sudah sering digunakan lampu petromak atau lampu listrik.

Wayang Klithik menggunakan Babad Pajajaran dari kisah Ciungwanara sampai Majapahit. Keseluruhannya ada dua belas lakon dan lakon yang paling populer adalah lakon Damarwulan Ngenger sampai gugurnya Minakjingga. Motif dan bentuk wayang Klithik serupa dengan bentuk wayang kulit Gedog, sedangkan yang bermotif wayang kulit purwa lazim disebut wayang Krucil, yang dalam pergelarannya mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata.

Wayang Klitik (Adegan Raden Damarwulan beserta abdi panakawan Sabdapalon dan Nayagenggong)
Wayang Klitik
(Adegan Raden Damarwulan beserta abdi
panakawan Sabdapalon dan Nayagenggong)
2. Langendriyan
Pada akhir abad ke-XIX pada saat pergelaran wayang Klithik atau Krucil mendekati kepunahannya, maka muncullah kesenian Langendriyan. Pementasan Langendriyan bermula pada pengadaan acara mocopatan, yaitu membaca buku babad yang berbentuk tembang. Pembacaan tembang tersebut dilakukan seorang demi seorang secara bergilir yang ketika itu kisah Damarwulan merupakan kisah yang sangat digemari.

Langendriyan melibatkan unsur tata pentas, tata gerak (tarian), dan tata busana, seni suara (nyanyian). Bentuk kesenian tersebut semula bernama Mundringan, setelah disempurnakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi pada tahun 1876 disebut Langendriyan. Menurut Ensiklopedi Indonesia, Langendriyan adalah suatu bentuk drama tari Jawa yang menitik beratkan pada unsur tari dan seni suara. Dialog dalam drama tari tersebut dilakukan dengan tembang, sehingga pentas tersebut boleh dikatakan semacam opera berbahasa Jawa, dengan cerita yang khusus mengenai Panji (Damarwulan-Minakjingga) dari zaman Majapahit.

Hingga dewasa ini, orang tidak dapat menyatakan dari mana Langendriyan itu berasal. Ada yang berpendapat bahwa kesenian tersebut semula berasal dari Mangkunegaran-Surakarta, yang diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV (1853 – 1881). Ada pula yang menyatakan bahwa Langendriyan tersebut berasal dari Makubumen-Yogyakarta, yang diciptakan oleh K.G.P.A. Mangkubumi, adik Sultan Hamengku Bhuwono VII (1877 – 1921). Berkat usaha K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, maka naskah-naskah Langendriyan Mangkubumen berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1953.

Komentar