Wayang Menak

Kyai Trunodipo dari kampung Baturetno-Surakarta mencipta wayang Menak, setelah ia menjual wayang Madya hasil karyanya kepada Mangkunegoro VII. Wayang Menak ini terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging seperti halnya dengan wayang kulit Purwa, sedang wayang Menak yang terbuat dari kayu dan merupakan wayang Golek disebut wayang Thengul.

Maksud Kyai Trunodipo membuat wayang Menak adalah untuk mementaskan cerita-cerita yang bersumber pada serat Menak dengan tokoh-tokoh Menak seperti Wong Agung Jayengrana atau Amir Hambiyah, Umar Maya dan lain-lainnya. Wayang-wayang ini kemudian dibeli oleh R.M. Ng. Dutoprojo.

Dalam pementasan wayang Menak kita jumpai dua macam bentuk wayangnya antara lain yang berupa wayang golek dan wayang kulit. Pementasan wayang Menak di Jawa Tengah pada umumnya menggunakan wayang golek Menak yang disebut wayang Thengul. Pementasan wayang kulit Menak ini menggunakan kelir dan blencong. Sedangkan pakelirannya mengambil cerita berdasarkan serat Menak. Bentuk keseluruhan wayang kulit Menak dapat dikatakan serupa dengan wayang kulit Purwa, hanya raut muka wayang-wayangnya hampir menyerupai muka manusia. Tokoh-tokoh wayang dalam cerita tersebut mengenakan sepatu dan menyandang salah satu jenis senjata berbentuk pedang (klewang), sedangkan tokoh-tokoh raja mengenakan baju dan memakai senjata keris.

Cerita Menak semula bersumber dari kitab Qissai Emr Hamza, sebuah hasil kesusasteraan Persia pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766 – 809). Di daerah Melayu kitab tersebut lebih dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan hikayat itulah yang dipadu dengan cerita Panji, akhirnya lahir cerita Menak. Dalam cerita ini nama-nama tokohnya disesuaikan dengan nama Jawa, antara lain Omar Bin Omayya menjadi Umar Maya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi’ul Zaman menjadi Iman Suwongso, Mihrnigar menjadi Dewi Retno Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraisin, Unekir menjadi Dewi Adininggar, dan lain-lainnya. Cerita Menak pada garis besarnya, mengisahkan permusuhan Emr Hamza (Wong Agung Jayengrana) dari Mekah dengan raja Nushirwan (Nusirwan), mertuanya dari Medain (Medayin) yang masih kafir.

Kadis Makdum purwaking ginupit, ring sang duta kataman duhkita,.........demikian sebagain pembuka pada serat Menak, terbitan Balai Pustaka. Menurut sumber cerita dari Persia yang mengisahkan Wong Agung tidak hanya kembali ke Mekah, namun telah bertemu dengan Nabi serta terjadinya pertempuran hingga meninggalnya Wong Agung tersebut.

Memang banyak perbedaan-perbedaan yang terdapat pada serat Menak antara pengarang yang satu dengan yang lainnya, antara serat Menak karya tulis R.Ng. Yosodipuro dengan berpuluh-puluh naskah yang tersimpan dalam perpustakaan Bataviaasche Genootschap di Jakarta dulu, bila dibandingkan dengan naskah yang didatangkan dari Leiden-Belanda, yang berasal dari kraton Surakarta. Cerita-cerita Menak banyak dipergelarkan dalam bentuk pentas wayang Golek yaitu wayang golek Menak Jawa atau wayang golek Sunda, yang masing-masing berbeda bentuk ukirannya atau-pun wayang kulit Menak dengan boneka-boneka wayang yang khusus untuk pentas tersebut dan jarang sekali dalam bentuk pentas wayang orang. Salah satu di antara pentas untuk Menak tersebut, ialah wayang kulit dari daerah Lombok yang lazim disebut wayang Sasak.

Wayang Kulit Menak (Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar, Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo)
Wayang Kulit Menak
(Prabu Lamdahur, Prabu Nusirwan, Dewi Muninggar,
Wong Agung Jayengrono dan Umar Moyo)
Umarmoyo (Wayang Golek Menak dari Kebumen)
Umarmoyo (Wayang Golek Menak dari Kebumen)
Wayang Sasak
Wayang Sasak
Arjuna (Wayang Bali)
Arjuna (Wayang Bali)
Sugriwa (Wayang Bali)
Sugriwa (Wayang Bali)

Komentar