Wayang Moderen

Kebutuhan masyarakat akan sarana komunikasi sosial dalam media pewayangan kian meningkat. Wayang-wayang purwa, Madya, dan wayang Gedog hasil karya pujangga-pujangga kuna sudah tak sesuai lagi untuk keperluan yang khusus. Kemudian diciptakan wayang baru yang bisa memadai faktor-faktor komunikasi yang akan diperagakan seperti wayang Kancil untuk media pendidikan anak-anak, wayang Suluh untuk media penerangan, wayang Wahyu untuk media dakwah kerohanian dan wayang-wayang lainnya.

1. Wayang Wahana (1920)
R.M. Sutarto Harjowahono asal Surakarta pada tahun 1920 membuat wayang untuk cerita-cerita biasa yang bersifat wajar (realistis). Bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan diberi pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya berdasarkan cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut dapat dikatakan semacam wayang sandiwara. Kemudian wayang sandiwara tersebut menjadi wayang perjuangan dan ketika Kementerian Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan, wayang tersebut menjadi wayang Suluh (1946 / 1947).

Dewasa ini wayang Suluh sudah sangat jarang atau tidak pernah berpentas lagi dan tokoh-tokoh wayang tersebut terdiri antara lain Bung Karno Presiden RI pertama (Ir. Sukarno), Dr. Schermerhorn yaitu wakil kerajaan Belanda dalam zaman revolusi kemerdekaan RI, serta tokoh-tokoh TNI lainnya yang sudah lama meninggal.

Wayang Suluh (Bung Karno, Bung Hatta, Schermerhorn serta orang belanda lainya)
Wayang Suluh
(Bung Karno, Bung Hatta, Schermerhorn serta orang belanda lainya)
2. Wayang Kancil (1925)
Pencipta wayang Kancil ini adalah orang Cina yang bernama Bo Liem dan pembuatnya adalah Lie Too Hien pada tahun 1925. Pementasan wayang Kancil tersebut menggunakan kelir, yang pada sebelah kiri dan kanannya bergambar hutan. Wayang-wayangnya berbentuk binatang-binatang buruan, seperti macan, gajah, kerbau, sapi, binatang merangkak seperti buaya, kadal, binatang melata seperti ular, dan binatang unggas seperti semua jenis burung, serta binatang-binatang lainnya yang berhubungan dengan dongeng Kancil.

Gambar berupa orang untuk wayang tersebut hanya sedikit dan jumlah wayangnya-pun sekitar 100 buah. Wayang-wayangnya terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging serta digambar secara realistis, fantastis yang disesuaikan dengan pergelaran wayangnya.

Adapun cerita cerita untuk pergelaran wayang Kancil tersebut diambil dari kitab Serat Kancil Kridomartono karangan Raden Panji Notoroto atau dari karangan Raden Sosrowijoyo dari Distrik Ngijon di Yogyakarta.

3. Wayang Wahyu (1960)
Sejumlah 225 tokoh pria dan wanita dalam perjanjian lama dan perjanjian baru yang telah diwayang kulitkan, dipasang berjajar didepan layar. Jajaran sebelah kanan diawali tokoh Samson sebagai tokoh golongan putih, dan sebelah kiri diawali tokoh Goliot sebagai tokoh golongan hitam. Gunungan atau kayon mengandung makna diambil dari wahyu 22 (Yerosalim baru), perjanjian lama Sepuluh firman dan Yohanes 14:6 Akulah jalan kebenaran dan hidup.

Wayang Wahyu tersebut diciptakan khusus untuk cerita-cerita zaman para Nabi yang berkaitan dengan cerita-cerita dari kitab Injil oleh Broeder Temotheus Marji Subroto pada bulan Desember 1960. Cerita-ceritanya diambil dari Al Kitab perjanjian Lama dilanjutkan ke Kitab Perjanjian Baru untuk pendidikan umat Katolik.

Pertunjukan wayang Wahyu diiringi gamelan dari karawitan Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (LEPKI). Grup ini mencoba mengaransir nada diatonik (musik) nyanyian gerejawi ke dalam nada pentatonik (gamelan). Suluk dan lainnya seperti pada wayang kulit umumnya.

Wayang Wahyu
Wayang Wahyu
4. Wayang Dobel
Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berdasarkan cerita-cerita Islam yang diambil dari Serat Ambyah. Disebut wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab, sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah gamelan, dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawatan. Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi warna putih.

Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, sedangkan yang disamping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail adalah berbadan tiga yang melekat menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan Supiah.

Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang Wahyu, yang ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wayang Dobel menceritakan kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an.

5. Wayang Pancasila (1948)
Suharsono Hadisuseno adalah seorang pegawai Kementerian Penerangan RI dari Yogyakarta telah membuat wayang yang disebut wayang Pancasila, yang dibuat dari kulit ditatah dan disungging berdasarkan wayang kulit Purwa. Wayang tersebut dipergelarkan untuk menyajikan ceirta-cerita yang berhubungan dengan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda serta peristiwaperistiwa Kemerdekaan RI dengan tujuan memberi penerangan mengenai falsafah Pancasila, UUD serta GBHN. Wayang tersebut diberi baju, celana panjang, dan mengenakan peci tentara, bahkan menyandang pistol pula.

Nama-nama wayang berupa sindiran, seperti tokoh Jendral Spoor dari tentara kerajaan Belanda, diberi nama senopati Rata Dahana (spoor = kereta api). Pementasan wayang Pancasila dilaksanakan dengan menggunakan kelir serta blencong untuk menimbulkan bayangan.

Wayang Pancasila (Bima)
Wayang Pancasila (Bima)
6. Wayang Sejati (1972)
Drs. Wisnu Wardhana telah mengadakan pergelaran wayang kulit dengan bahasa Indonesia. Disamping itu telah dipergelarkan pula secara terbuka pada tanggal 22 Maret 1973 di Yogyakarta untuk pertama kalinya, jenis wayang baru hasil ciptaannya ini yang kemudian disebut wayang Sejati.

Daris segi konsepsi, wayang Sejati ini mencerminkan konsepsi moderen yang berazaskan semangat kebangsaan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya serta cerita yang menghidupkan episode-episode sejarah tanah air.

7. Wayang Budha
Wayang Budha dengan seperangkat gamelan sebagai musik pengiringnya, dipergelarkan untuk pertama kalinya dalam Pekan Wayang Indonesia ke III. Pertunjukan tersebut diawali dengan nyanyian vokal tanpa iringan musik (bowo) sebagai pembuka lagu.

Pementasan wayang Budha dimainkan tiga orang dalang. Disamping sebagai dalang juga merangkap sebagai penari. Pertunjukan wayang Budha menggunakan kelir selebar +/- 8 meter serta beberapa wayang orang sekaligus sebagai dalang dan menarikan wayang- wayang kulit dalam bentuk besar-besar yang diterangi oleh beberapa penerangan dari api (obor).

8. Wayang Jemblung
Suatu jenis kesenian wayang yang dalam pergelarannya tanpa alat peraga wayang dan tanpa perlengkapan lainnya, maka wayang tersebut adalah wayang Jemblung, seperti juga salah satu kesenian tradisional daerah Banyumas (Jawa Tengah) yang disebut Dalang Jemblung. Wayang Jemblung menggunakan bahasa Jawa biasa untuk hal yang sama, selain itu pergelaran wayang Jemblung tersasa lebih sakral dan unik dengan sifatnya yaitu Jemblungan.

Ki Tumin Sumosuwito mengisahkan, wayang Jemblung tersebut timbul untuk pertama kalinya di kelurahan Semanu, Karangmojo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Kata Jemblung tersebut berasal dari julukan gemblung yang artinya edan atau gila. Cerita yang disajikan diambil dari cerita wayang Purwa, Panji, atau Menak bahkan cerita Ketoprak seperti babad tanah Jawa. Disamping melakukan dialog, dalang juga menyuarakan suara gamelan sebagai iringannya.

9. Wayang Sadat (1985)
Suryadi Warnosuharjo, 48 tahun (1986) Klaten, Jawa Tengah, selaku pencipta dan sekaligus dalang wayang Sadat, menyatakan “kalau umat Nasrani memiliki wayang Wahyu, maka umat Islam mempunyai wayang Sadat ”. Wujud wayang kulit Sadat, jelas bukan berbentuk wayang Purwa ataupun wayang Gedog, juga bukan berbentuk wayang Menak atau wayang Beber. Bentuk wayang Sadat ber-wanda mendekati realistis dan hampir serupa dengan wayang Suluh atau wayang Wahyu. Bahkan sebuah gending utama sengaja diciptakan untuk pergelaran tersebut bernama gending Istigfar.

Suryadi menciptakan wayang Sadat tersebut pada pertengahan tahun 1985 sebagai imbangan bagi umat Islam di Jawa yang berkaitan dengan pengembangan sejarah agama Islam dalam penyebarannya
oleh para Wali, di samping itu untuk melanjutkan roh Islam yang pernah terdapat dalam sejumlah gubahan pakeliran wayang purwa di masa zaman Demak antara lain cerita Jimat Kalimusadha.

Kata Sadat berasal dari kata Syahadattain atau sebagai akronim dari kata dakwah dan Tabligh. Misi pergelarannya bernafaskan dakwah agama Islam serta melanjutkan tradisi para Wali yang pernah berdakwah pada perayaan Sekatenan di zaman kerajaan Demak. Sebagaimana diketahui, Sekatenan merupakan pembacaan Syahadat secara massal.

Wayang Sadat (Sunan Ampel dan Raden Patah)
Wayang Sadat
(Sunan Ampel dan Raden Patah)
Wayang Diponegaran
Wayang Diponegaran

Komentar