Pernakah kalian menilai atau melakukan penilain dari suatu pementasan drama? Penonton drama yang baik sebenarnya tidak hanya terfokus menikmati dan memahami cerita demi cerita yang terdapat dalam drama tersebut. Penonton yang baik sebaiknya mampu memberikan penilaian terhadap drama yang telah ditonton.
Untuk memberikan penilaian drama yang telah ditonton, tentu harus memahami apa yang seharusnya dinilai dan bagaimana cara menilainya. Dengan mengetahui kriteria penilaian, seseorang akan mampu menilai pementasan tersebut secara akurat dan objektif.
Cara Memberikan Penilaian Pada Pementasan Suatu Drama
Drama merupakan kehidupan yang dipentaskan. Namun, drama juga berupa karya seni. Oleh karena itu, pementasan drama hendaknya mencerminkan kehidupan yang wajar, tidak terlihat kalau dibuat-buat dan harus memiliki keindahan. Keindahan yang dimaksud adalah pementasan drama harus enak dan menarik untuk ditonton. Untuk mengetahui baik dan tidaknya pementasan drama sebagai tontonan, perlu ada penilaian. Penilaian tersebut tentunya mengacu pada hal-hal teknik sebuah pementasan.
Agar kamu mampu memberikan penilaian pementasan drama, gunakan hal-hal berikut sebagai pemandu dalam melakukan penilaian:
- Tata suara; pada bagian ini, unsur yang perlu dinilai adalah keras maupun lembutnya vokal, kejelasan ucapan serta variasi dari intonasi.
- Ekspresi pemeranan; yang dinilai pada point kedua ini yaitu apakah pemeran tokoh-tokoh telah mampu mengekspresikan sesuai isi naskah drama yang ditandai dengan mimik yang tepat.
- Tata letak atau bloking; penilaian yang dilakukan dan perlu diperhatikan disini yaitu apakah pemeran mampu memposisikan dirinya dengan tepat. misalnya tidak membelakangi penonton, maupun tidak menutupi pemain lainnya.
- Moving atau gerakan; di point terakhir ini yang dinilai adalah gerakan-gerakan dari pemeran apakah mendukung ekspresi dan dilakukan secara wajar atau tidak?
Contoh naskah drama
Drama Adegan 1
David: (Muncul di pintu. Memandang sekeliling. Lalu pergi lagi.)
Dani: (Muncul dari sebelah kiri) “Ayamnya juga dibawa, Bu?”
Ibu: “Ya, tentu! Masa mau ditinggal. Sana kamu tangkap!”
Dani: “Sudah aku kurungi!”
Ibu: “Bagus, bah, kalau begitu!” (duduk termangu di kursi) “He, heh,….!”
Dani: “Ibu susah, ya?”
Ibu: (Terperangah) “Oh, tidak bah! Hanya teringat amangmu! Teringat ayahmu!”
Dani: “Kenapa, Bu?”
Ibu: “Yah, kalau saja ayahmu masih hidup….” (tidak dilanjutkan)
Dani: “Kalau sudah besar, aku akan jadi tentara seperti ayah.”
David: (Tiba-tiba muncul) “Sudah siap semuanya, Bu?”
Ibu: “Yah, sewaktu-waktu kita bisa berangkat.”
Dani: “Kenapa kita harus mengungsi, Kak?”
David: “Agar kita tidak dijajah Belanda!”
Dani: “Dijajah?”
David: “Kota Porsea akan kita pertahankan, tapi…”
Ibu: “Tapi kenapa, David?”
David: “Senjata Belanda terlalu kuat untuk kita hadapi, Bu!”
Ibu: “Bah, dulu amangmu masih hidup, senjata mereka juga sudah hebat. Sudah modern katanya. Tapi mereka tidak berhasil mengalahkan tentara kita.”
David: “Sekarang keadaanya lain, Bu.”
Dani: “Sekarang tentara kita penakut, ya, kak?”
Ibu:”He, jangan bicara begitu, Dani!”
Dani: “Kalau pemberani, mengapa kita harus mengungsi, Bu?”
David: “Ya, ketika Aksi Militer I itu, tentara kita dan rakyat bersatu menghadapi musuh. Belanda tidak berhasil memasuki daerah Toba.”
Ibu: “Apa bedanya dengan sekarang? apa rakyat tidak bersatu?”
David: “Sekarang Belanda telah mempergunakan siasat kuno mereka yang licik, tetapi ampuh. Dua kesatuan tentara kita di daerah ini diadu domba. Dan siasat Belanda berhasil!”
Ibu: “Haa?” (Terkejut) “Jadi, tembak-menembak kemarin malam itu… antara siapa dengan siapa?”
David: “Antara kedua kesatuan tentara Republik kita. Satu pihak dari arah Lumbajulu dan satu pihak lagi dari Laguboti.”
Ibu: “Ya, ampun!” (Menggeleng-geleng)
Dani: “Tentara kita perang sendiri, Kak?”
David: “Begitulah! Dan kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan oleh Belanda. Tiba-tiba saja datang berita bahwa Belanda sedang dalam perjalanan menuju kota ini.”
Ibu: “Jadi, kita tetap akan mengungsi?”
David: “Ya, rapat di rumah kepala desa semalam telah memutuskan langkah-langkah yang akan kita ambil. Semua penduduk akan mempertahankan kota Porsea sedapat mungkin. Kita sepakat membumihanguskan kota jika sudah tidak dapat kita pertahankan lagi. Lebih baik melihat kota Porsea menjadi puing-puing daripada dijajah!”
Drama Adegan 2
Rida: (Datang dari sebelah kanan) “Kak David, belum berangkat?”
David: “Sekarang aku mau berangkat. Jangan lupa semua pesanku, Rida!”
Rida: “Baik, Kak!”
David: “Aku mau ke kota, Bu!” (Mencium pipi ibunya) “Jaga Ibu baik-baik, Rida! Dani tidak boleh nakal, ya!” (Mengambil bambu runcing yang terandar di dinding, lalu mengamati granat tangan di ikat pinggangnya. Kemudian pergi)
Ibu: “Jangan lama-lama, David! Ibu takut sendirian di rumah!”
Rida: “Kan, ada aku, Bu! Ibu hanya takut kalau-kalau David…” (Tidak dilanjutkan, lalu menutup mulutnya dengan beberapa jari) Dani: “Kak David itu mau kemana, Kak Rida?”
Rida: “Ke kota, kan? Masa Dani belum tahu?”
Dani: “O, mau membakar kota?”
Rida: “Ya, kalau terpaksa!”
Ibu: “Ah, kalian ini anak-anak, tahu darimana?”
Dani: “Dari Kak David tentu!”
Rida: “Dan juga dari pemuda-pemuda di kampung kita, Bu!”
Ibu: “Apa kau ikut rapat dirumah kepala desa itu?”
Rida: “Semua pemuda di kampung ini, Bu, ikut rapat. Dan kalau Ibu boleh, aku juga akan bergabung dengan PMI.”
Dani: “Aku juga ikut membumihanguskan kota, Bu!”
Ibu: “Bah, kalian ini bicara apa? Ibu jadi heran, bah!”
Rida: “Dan kalau sampai kota diduduki Belanda, maka semua rumah di kampung ini harus dibakar juga!”
Ibu: “Rumah ini juga?”
Rida: “Ya, tidak ada kecualinya, Bu!”
Ibu: “Amang oi, kita mau tinggal di mana nanti?”
Rida: “Di pengungsian tentu!”
Ibu: “Apa pesan David kepadamu, Rida?”
Rida: “Supaya menjaga Ibu baik-baik!”
Ibu: “Hanya itu pesannya?”
Rida: “Kalau ada perintah mengungsi, kita harus segera meninggalkan rumah ini.”
Dani: “Ah, ayam itu akan saya ikat dulu!”
Ibu: “Nanti saja, Dani!”
Dani: “Ah, mau saya beri makan dulu!” (Masuk ke kanan)
Rida: “Apa Ibu belum tahu kalau Kak David mempunyai tugas mengepalai pasukan pemuda Porsea untuk membumihanguskan kota?”
Ibu: “Aku jadi teringat ayahmu, Rida! Aku tidak tahan menghadapi David seperti apa yang terjadi atas ayahmu dulu!” (Mengusap mata dengan ujung bajunya)
Rida: “Ibu jangan berpikir yang bukan-bukan!”
Ibu: “Tidak, Ibu bangga karena ayahmu gugur dalam mempertahankan kemerdekaan. Tapi Ibu tidak ingin David…” (Membelokkan pembicaran) “O, ya! Bagaimana dengan rumah kita ini?”
Rida: “Juga akan dibumihanguskan, bu!”
Ibu: (Terkejut) “Ha….! Rumah yang kita beli dengan susah payah ini mau dibakar?”
Rida: “Ya, kalau terpaksa!”
Ibu: “Kasihan ayahmu, Rida! Ingatkah akan jerih payah ayahmu untuk membeli rumah ini? Beberapa tahun kita menabung dan mencekik leher, mengeratkan ikat pinggang, hingga dapat memiliki rumah ini? Oh, alangkah kejamnya perang ini! Mengapa harus ada perang? Mengapa…?” (Menangis)
Rida: (Menghela napas. Lain menguatkan hati) “Bu, peperangan memang kejam! Bukan kita saja yang berkorban. Ibu tahu, kan, Pak Silalahi yang sudah tua renta itu? Ia hidup sebatang kara. Ia pun baru saja membeli rumah. Pak Silalahi pun orang miskin seperti kita. Bertahun-tahun ia menabung untuk membeli rumah itu. Rumah yang disediakan sendiri untuk bernaung di hari tuanya. Dan sebentar lagi iapun akan kehilangan segalanya. Kita tidak sendiri, Bu!”
Ibu: (Merangkul Rida) “Oh, anakku! Mengapa kau begitu cepat menjadi dewasa. Kata-katamu seperti kata-kata orang tua saja. Sejauh itu sudah kamu berpikir!’
Rida: “Dalam keadaan perang, dalam zaman serba sulit, anak-anak muda cepat menjadi dewasa. Ya, kami menjadi dewasa karena kesengsaraan, karena kesulitan dan kemiskinan.”
Ibu: (Terharu mendengar kata-kata anaknya) “Bagaimana dengan Bu Simangunsong itu, Nak?”
Rida: “Janda dengan anak-anaknya yang masih kecil itu, juga akan kehilangan tempat bernaung. Ya, Bu Simangunsong akan kehilangan segalanya seperti Pak Silalahi yang tua dan sebatang kara itu. Kita tidak sendiri, Bu. Mengapa kita harus takut menghadapinya?’
Ibu: (Menengadah dan kedua tangannya mengepal di dada) “Ya Tuhan, berilah hamba-Mu hati yang tabah. Karena kami tidak boleh mementingkan diri sendiri. Bahwa kemerdekaan ini memang menuntut pengorbanan. Kami akan relakan semua yang kami punya untuk nusa dan bangsa.” (Membuka mata lalu tersenyum memandang Rida)
Rida: “Aku bangga pada Ibu (Terharu) “Semoga Tuhan senantiasa menerangi kita!” (Senja mulai turun. Ibu memasang lampu dinding. Rida masuk)
(Malam mulai mencekam. Sesekali terdengar suara tembakan. Dengan obor di tangan tiba-tiba Toga Sitorus datang mengetuk pintu)
Toga: “Bukakan pintu, Bu! Bukakan pintu, oi, Rida!”
Rida: (Berlari membukakan pintu) “O, toga!”
Toga: “Ibu mana?”
Rida: “Bu ada Toga!”
Ibu: (Tergopoh-gopoh keluar) “Hei, Nak Toga! Ada apa?”
Toga: “Rumah di kampung ini akan segera dibakar, Bu!”
Ibu: “Ha? Jadi dibakar?”
Rida: “Kak David mana, Toga?”
Toga: (Bingung) “Kak David, e, nanti saja aku terangkan!”
Ibu: (Setengah membentak) “David mana, Nak?”
Toga: “Di… disana, Bu!”
Rida: “Dimana, Toga?”
Toga: “Kita tidak banyak waktu, tentara Belanda semakin mendekat. Mari kita segera mengungsi saja! Dan rumah ini akan dibakar!”
Ibu: “Jawab dulu, Nak! David dimana?”
Toga: (Terlanjur) “Dibawa ke pengungsian, Bu!”
Rida: “Kita mau mengungsi kemana, toga?”
Toga: “Ke Sibunton!”
Dani: (datang sambil mengusap-usap mata) “Ada apa ini?”
Toga: “Siapkan semua barang bawaan! Kita harus segera meninggalkan kampung ini, Dani!”
Ibu: (Sambil mengumpulkan barang-barang) “Kenapa bukan David yang menjemput kita, Rida?” (Rida sibuk mengikat bungkusan) “Tapi David tidak apa-apa, Nak?”
Toga: “Ya, baik-baik saja!”
Ibu:” Aku ambil karung beras dulu di belakang!” (Masuk ke kiri)
Toga: (Cepat-cepat berbisik kepada Rida) “David gugur!”
Rida: (agak berteriak) “Kak david gugur?” (Hendak menangis)
Toga: “David memang seorang pemberani. Ia telah memilih pertempuran jarak dekat. David meloncat ke atas tank musuh yang terdepan. Dibukanya penutup tank itu lalu dihantamkannya dua granat yang digenggamnya ke dalam tank itu. Pengemudi tank itu mati dan gugurlah David.”
Rida: (Menangis terharu. Sambil mengepalkan tinjunya ke atas ia berteriak) “Kak David gugur… hu, hu, hu, ….” (Terus terhisak. Lali berlari keluar) “Kak David! Kak David!”
Toga: “Tunggu! Tunggu dulu, Rida!” (kebingungan)
Ibu: (Keluar dari kanan) “Ada apa, Nak Toga? Ada apa dengan David?”
Rida: (Berteriak-teriak di luar) “Kak David! Kak David, aku ikut, Kak David! Kenapa kau harus meninggalkan kami!” (Dan terus terhisak-hisak)
Toga: (Panik) “Kita cepat mengungsi Bu!”
Dani: (Yang sejak tadi terbengong-bengong tiba-tiba menangis dan berteriak) “Kak David gugur, Bu.. hu,hu,hu, ….!”
Ibu: (Berteriak seperti kesetanan) “David gugur? Tidak percaya! David, Anakku! Tunggu Ibu, Nak! Daviiid, aaaa.., David…!” (Menghambur ke luar. Barang-barang yang hendak dibawa ke pengungsian tak ada yang dibawanya)
Dani: “Aku ikut, Bu! Aku ikut!” (Berlari keluar)
Toga: (Ikut panik) “Hoi, tolong kawan-kawan!” (Diambilnya barang-barang bungkusan, lalu dilempar-lemparkan keluar rumah) “Hoi, tolong bawa barang-barang ibu ini Kawan-kawan!” (Toga berlari ke luar mengambil obor. Lalu masuk lagi ke rumah. Disiramnya dinding rumah itu dengan obor. Malam itu kampung David menjadi lautan api)
Setelah kalian dan teman-teman kalian mencoba memerankan pementasan Drama tadi, cobalah melakukan penilain terhadap masing-masing karakter dengan menggunakan formulir tabel penilaian dari pementasan darama berikut ini:
Ibu: “Jangan lama-lama, David! Ibu takut sendirian di rumah!”
Rida: “Kan, ada aku, Bu! Ibu hanya takut kalau-kalau David…” (Tidak dilanjutkan, lalu menutup mulutnya dengan beberapa jari) Dani: “Kak David itu mau kemana, Kak Rida?”
Rida: “Ke kota, kan? Masa Dani belum tahu?”
Dani: “O, mau membakar kota?”
Rida: “Ya, kalau terpaksa!”
Ibu: “Ah, kalian ini anak-anak, tahu darimana?”
Dani: “Dari Kak David tentu!”
Rida: “Dan juga dari pemuda-pemuda di kampung kita, Bu!”
Ibu: “Apa kau ikut rapat dirumah kepala desa itu?”
Rida: “Semua pemuda di kampung ini, Bu, ikut rapat. Dan kalau Ibu boleh, aku juga akan bergabung dengan PMI.”
Dani: “Aku juga ikut membumihanguskan kota, Bu!”
Ibu: “Bah, kalian ini bicara apa? Ibu jadi heran, bah!”
Rida: “Dan kalau sampai kota diduduki Belanda, maka semua rumah di kampung ini harus dibakar juga!”
Ibu: “Rumah ini juga?”
Rida: “Ya, tidak ada kecualinya, Bu!”
Ibu: “Amang oi, kita mau tinggal di mana nanti?”
Rida: “Di pengungsian tentu!”
Ibu: “Apa pesan David kepadamu, Rida?”
Rida: “Supaya menjaga Ibu baik-baik!”
Ibu: “Hanya itu pesannya?”
Rida: “Kalau ada perintah mengungsi, kita harus segera meninggalkan rumah ini.”
Dani: “Ah, ayam itu akan saya ikat dulu!”
Ibu: “Nanti saja, Dani!”
Dani: “Ah, mau saya beri makan dulu!” (Masuk ke kanan)
Rida: “Apa Ibu belum tahu kalau Kak David mempunyai tugas mengepalai pasukan pemuda Porsea untuk membumihanguskan kota?”
Ibu: “Aku jadi teringat ayahmu, Rida! Aku tidak tahan menghadapi David seperti apa yang terjadi atas ayahmu dulu!” (Mengusap mata dengan ujung bajunya)
Rida: “Ibu jangan berpikir yang bukan-bukan!”
Ibu: “Tidak, Ibu bangga karena ayahmu gugur dalam mempertahankan kemerdekaan. Tapi Ibu tidak ingin David…” (Membelokkan pembicaran) “O, ya! Bagaimana dengan rumah kita ini?”
Rida: “Juga akan dibumihanguskan, bu!”
Ibu: (Terkejut) “Ha….! Rumah yang kita beli dengan susah payah ini mau dibakar?”
Rida: “Ya, kalau terpaksa!”
Ibu: “Kasihan ayahmu, Rida! Ingatkah akan jerih payah ayahmu untuk membeli rumah ini? Beberapa tahun kita menabung dan mencekik leher, mengeratkan ikat pinggang, hingga dapat memiliki rumah ini? Oh, alangkah kejamnya perang ini! Mengapa harus ada perang? Mengapa…?” (Menangis)
Rida: (Menghela napas. Lain menguatkan hati) “Bu, peperangan memang kejam! Bukan kita saja yang berkorban. Ibu tahu, kan, Pak Silalahi yang sudah tua renta itu? Ia hidup sebatang kara. Ia pun baru saja membeli rumah. Pak Silalahi pun orang miskin seperti kita. Bertahun-tahun ia menabung untuk membeli rumah itu. Rumah yang disediakan sendiri untuk bernaung di hari tuanya. Dan sebentar lagi iapun akan kehilangan segalanya. Kita tidak sendiri, Bu!”
Ibu: (Merangkul Rida) “Oh, anakku! Mengapa kau begitu cepat menjadi dewasa. Kata-katamu seperti kata-kata orang tua saja. Sejauh itu sudah kamu berpikir!’
Rida: “Dalam keadaan perang, dalam zaman serba sulit, anak-anak muda cepat menjadi dewasa. Ya, kami menjadi dewasa karena kesengsaraan, karena kesulitan dan kemiskinan.”
Ibu: (Terharu mendengar kata-kata anaknya) “Bagaimana dengan Bu Simangunsong itu, Nak?”
Rida: “Janda dengan anak-anaknya yang masih kecil itu, juga akan kehilangan tempat bernaung. Ya, Bu Simangunsong akan kehilangan segalanya seperti Pak Silalahi yang tua dan sebatang kara itu. Kita tidak sendiri, Bu. Mengapa kita harus takut menghadapinya?’
Ibu: (Menengadah dan kedua tangannya mengepal di dada) “Ya Tuhan, berilah hamba-Mu hati yang tabah. Karena kami tidak boleh mementingkan diri sendiri. Bahwa kemerdekaan ini memang menuntut pengorbanan. Kami akan relakan semua yang kami punya untuk nusa dan bangsa.” (Membuka mata lalu tersenyum memandang Rida)
Rida: “Aku bangga pada Ibu (Terharu) “Semoga Tuhan senantiasa menerangi kita!” (Senja mulai turun. Ibu memasang lampu dinding. Rida masuk)
Drama Adegan 3
Toga: “Bukakan pintu, Bu! Bukakan pintu, oi, Rida!”
Rida: (Berlari membukakan pintu) “O, toga!”
Toga: “Ibu mana?”
Rida: “Bu ada Toga!”
Ibu: (Tergopoh-gopoh keluar) “Hei, Nak Toga! Ada apa?”
Toga: “Rumah di kampung ini akan segera dibakar, Bu!”
Ibu: “Ha? Jadi dibakar?”
Rida: “Kak David mana, Toga?”
Toga: (Bingung) “Kak David, e, nanti saja aku terangkan!”
Ibu: (Setengah membentak) “David mana, Nak?”
Toga: “Di… disana, Bu!”
Rida: “Dimana, Toga?”
Toga: “Kita tidak banyak waktu, tentara Belanda semakin mendekat. Mari kita segera mengungsi saja! Dan rumah ini akan dibakar!”
Ibu: “Jawab dulu, Nak! David dimana?”
Toga: (Terlanjur) “Dibawa ke pengungsian, Bu!”
Rida: “Kita mau mengungsi kemana, toga?”
Toga: “Ke Sibunton!”
Dani: (datang sambil mengusap-usap mata) “Ada apa ini?”
Toga: “Siapkan semua barang bawaan! Kita harus segera meninggalkan kampung ini, Dani!”
Ibu: (Sambil mengumpulkan barang-barang) “Kenapa bukan David yang menjemput kita, Rida?” (Rida sibuk mengikat bungkusan) “Tapi David tidak apa-apa, Nak?”
Toga: “Ya, baik-baik saja!”
Ibu:” Aku ambil karung beras dulu di belakang!” (Masuk ke kiri)
Toga: (Cepat-cepat berbisik kepada Rida) “David gugur!”
Rida: (agak berteriak) “Kak david gugur?” (Hendak menangis)
Toga: “David memang seorang pemberani. Ia telah memilih pertempuran jarak dekat. David meloncat ke atas tank musuh yang terdepan. Dibukanya penutup tank itu lalu dihantamkannya dua granat yang digenggamnya ke dalam tank itu. Pengemudi tank itu mati dan gugurlah David.”
Rida: (Menangis terharu. Sambil mengepalkan tinjunya ke atas ia berteriak) “Kak David gugur… hu, hu, hu, ….” (Terus terhisak. Lali berlari keluar) “Kak David! Kak David!”
Toga: “Tunggu! Tunggu dulu, Rida!” (kebingungan)
Ibu: (Keluar dari kanan) “Ada apa, Nak Toga? Ada apa dengan David?”
Rida: (Berteriak-teriak di luar) “Kak David! Kak David, aku ikut, Kak David! Kenapa kau harus meninggalkan kami!” (Dan terus terhisak-hisak)
Toga: (Panik) “Kita cepat mengungsi Bu!”
Dani: (Yang sejak tadi terbengong-bengong tiba-tiba menangis dan berteriak) “Kak David gugur, Bu.. hu,hu,hu, ….!”
Ibu: (Berteriak seperti kesetanan) “David gugur? Tidak percaya! David, Anakku! Tunggu Ibu, Nak! Daviiid, aaaa.., David…!” (Menghambur ke luar. Barang-barang yang hendak dibawa ke pengungsian tak ada yang dibawanya)
Dani: “Aku ikut, Bu! Aku ikut!” (Berlari keluar)
Toga: (Ikut panik) “Hoi, tolong kawan-kawan!” (Diambilnya barang-barang bungkusan, lalu dilempar-lemparkan keluar rumah) “Hoi, tolong bawa barang-barang ibu ini Kawan-kawan!” (Toga berlari ke luar mengambil obor. Lalu masuk lagi ke rumah. Disiramnya dinding rumah itu dengan obor. Malam itu kampung David menjadi lautan api)
Sumber: Drama Remaja, F.X. Surana
![]() |
Hal-hal Yang Dinilai Dari Suatu Pementasan Drama Beserta Contoh Drama |
Komentar
Posting Komentar
Dengan menggunakan kolom komentar atau kotak diskusi berikut maka Anda wajib mentaati semua Peraturan/Rules yang berlaku di situs plengdut.blogspot.com ini. Berkomentarlah secara bijak.