Pembagian Hukum Pidana: Materiil, Formil, Umum, Khusus, Tertulis, Tidak Tertulis, Hukum Nasional, Lokal dan Pidana Internasional

Hukum pidana dapat dibagi atas dasar hukum pidana materiil dan hukum pidana formil; hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif; hukum pidana umum dan hukum pidana khusus; hukum pidana nasional, hukum pidana lokal dan hukum pidana internasional; serta hukum pidana tertulis dan hukum pidana yang tidak tertulis. Berikut ini adalah penjelasan mengenai pembagian hukum pidana tersebut :

1. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil

Berdasarkan definisi hukum pidana sebagaimana yang telah diutarakan dalam artikel belajar plengdut.com sebelumnya, secara umum hukum pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisi perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan dengan disertai ancaman pidana.

Singkatnya materiil, hukum pidana materiil berisi mengenai materiil perbuatan-perbuatan pidana. Hukum pidana formil pada dasarnya sama dengan hukum formil lainnya yaitu untuk menegakkan hukum materiil. Dengan demikian hukum pidana formil adalah untuk menegakkan hukum pidana materiil. Hukum pidana formil pada dasarnya berisi mengenai cara bagaimana menegakkan hukum pidana materiil melalui suatu proses peradilan pidana.

Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana materiil dan formil secara tegas dikatakan oleh van Hamel, "..... hukum pidana biasanya juga meliputi pemisahan dua bagian, yang materiil dan yang formal. Hukum pidana materiil menunjuk pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang menetapkan pidana bagi yang melanggarnya ; yang formal mengenai bentuk dan jangka waktu yang mengikat penegakan hukum materiil....." (Van Hamel, 1913: 4).

Hukum pidana materiil di Indonesia dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Secara singkat pembelajar hukum pidana perlu juga mengetahui sejarah pembentukan KUHP yang menjadi acuan materiil. KUHP (Wetbook van Strafrecht) berasal dari Belanda yang dibuat di Twee de Kammer (Parlemen Belanda) pada tahun 1809 di bawah pemerintahan Lodewijk Bonaparte. 

Kodifikasi tahun 1809 hanya berlaku 2 tahun karena pada tahun 1811 – 1813, Belanda diduduki Perancis dan sejak saat itu berlaku Code Penal dengan perubahan-perubahan sampai pada tahun 1886. Sementara itu Belanda selama kurang – lebih 73 tahun membentuk kitab undang-undang hukum pidana dan baru selesai pada tanggal 3 Maret 1881. Berdasarkan Staatblad 35, Wetbook van Strafrecht mulai diberlakukan di Belanda pada tanggal 1 September 1886. 

Indonesia yang pada saat itu masih dijajah Belanda, kemudian menerapkan Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda) dengan penyesuaian-penyesuaian untuk daerah jajahan (concordantie beginselen) pada tanggal 15 Oktober 1915. Berdasarkan Staatblad 1915 – 732 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.
Indonesia yang pada saat itu masih dijajah Belanda, kemudian menerapkan Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda) dengan penyesuaian-penyesuaian untuk daerah jajahan (concordantie beginselen) pada tanggal 15 Oktober 1915. Berdasarkan Staatblad 1915 – 732 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk Hindia Belanda mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.

Sejak Indonesia Merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan yang menyatakan "Segala badan negara dan peraturan yang ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini", Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 1946 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan perubahan dan tambahan hukum pidana materiil tersebut diberlakukan secara univikasi di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Ketentuan Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 merubah nama resmi Wetbook van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetbook van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih berlaku sampai dengan saat ini.

KUHP terdiri dari tiga buku dan 569 Pasal dengan sistematika sebagai berikut:

1. Buku Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum yang terdiri dari :

a. Bab I tentang batas-batas berlakunya aturan pidana dalam perundang-undangan

b. Bab II tentang pidana

c. Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana

d. Bab IV tentang percobaan

e. Bab V tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana

f. Bab VI tentang perbarengan

g. Bab VII tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan

h. Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana

i. Bab IX tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang


2. Buku Kedua tentang Kejahatan-Kejahatan yang terdiri dari :

a. Bab I tentang kejahatan terhadap keamanan negara

b. Bab II tentang kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden

c. Bab III tentang kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya

d. Bab IV tentang kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan

e. Bab V tentang kejahatan terhadap ketertiban umum

f. Bab VI tentang perkelahian tanding (bab ini berdasarkan Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 telah dihapus)

g. Bab VII tentang kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang

h. Bab VIII tentang kejahatan terhadap penguasa umum

i. Bab IX tentang sumpah palsu dan keterangan palsu

j. Bab X tentang pemalsuan mata uang dan uang kertas

k. Bab XI tentang pemalsuan meterai dan merek

l. Bab XII tentang pemalsuan surat

m. Bab XIII tentang kejahatan terhadap asal-usul pernikahan

n. Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan

o. Bab XV tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong

p. Bab XVI tentang penghinaan

q. Bab XVII tentang membuka rahasia

r. Bab XVIII tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang

s. Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa

t. Bab XX tentang penganiayaan

u. Bab XXI tentang menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan

v. Bab XXII tentang pencurian

w. Bab XXIII tentang pemerasan dan pengancaman

x. Bab XXIV tentang penggelapan

y. Bab XXV tentang perbuatan curang

z. Bab XXVI tentang perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak

aa. Bab XXVII tentang penghancuran atau pengrusakan barang

bb. Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan

cc. Bab XXIX tentang kejahatan pelayaran

dd. Bab XXIX A tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana/prasarana penerbangan

ee. Bab XXX tentang pemudahan, penerbitan dan percetakan

ff. Bab XXXI tentang aturan pengulangan kejahatan-kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai-bagai bab


3. Buku Ketiga tentang Pelanggaran-Pelanggaran yang terdiri dari :

a. Bab I tentang pelanggaran kemanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan umum

b. Bab II tentang pelanggaran ketertiban umum

c. Bab III tentang pelanggaran terhadap penguasa umum

d. Bab IV tentang pelanggaran mengenai asal-usul dan pernikahan

e. Bab V tentang pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan

f. Bab VI tentang pealnggaran kesusilaan

g. Bab VII tentang pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan pekarangan

h. Bab XVIII tentang pelanggaran jabatan

i. Bab IX tentang pelanggaran pelayaran


Berbeda dengan KUHP untuk materiil, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang umum kita miliki merupakan karya agung Bangsa Indoensia. KUHAP adalah hukum pidana formil (bukan materiil) atau hukum acara pidana (formil) yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan hukum pidana materiil. Tegasnya, KUHAP berisi tata cara umum formil atau proses formil terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana. KUHAP diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana yang terdiri dari 22 bab dan 286 pasal.

Secara garis besar formil KUHAP berisikan :

  1. Bab I tentang ketentuan umum
  2. Bab II tentang ruang lingkup berlakunya undang-undang
  3. Bab III tentang dasar peradilan
  4. Bab IV tentang penyidik dan penuntut umum
  5. Bab V tentang penangkapan, penahanan, penggledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat
  6. Bab VI tentang tersangka dan terdakwa
  7. Bab VII tentang bantuan hukum
  8. Bab VIII tentang berita acara
  9. Bab IX tentang sumpah atau janji
  10. Bab X tentang wewenang pengadilan untuk mengadili
  11. Bab XI tentang koneksitas
  12. Bab XII tentang ganti kerugian dan rehabilitasi
  13. Bab XIII tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
  14. Bab XIV tentang penyidikan
  15. Bab XV tentang penuntutan
  16. Bab XVI tentang pemeriksaan sidang pengadilan
  17. Bab XVII tentang upaya hukum biasa
  18. Bab XVIII tentang upaya hukum luar biasa
  19. Bab XIX tentang pelaksanaan putusan pengadilan
  20. Bab XX tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan
  21. Bab XXI tentang ketentuan peralihan
  22. Bab XXII tentang ketentuan penutup



2. Hukum Pidana Dalam Arti Objektif Dan Dalam Arti Subjektif

Selain pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, pembagian hukum pidana yang lain, adalah hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Hazewinkel Suringa mendefinisikan hukum pidana objektif yang juga disebut sebagai jus poenale sebagai perintah dan larangan yang pelanggaran pidana terhadap larangan dan norma tersebut diancam pidana oleh badan yang berhak; ketentuan-ketentuan mengenai upaya-upaya yang dapat digunakan jika norma itu dilanggar yang disebut sebagai hukum penitentiaire tentang hukum dan sanksi dan aturan aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya norma tersebut.

Sedangkan hukum pidana yang subjektif atau jus puniendi menurut Suringa adalah hak negara untuk menuntut pidana, hak untuk menjatuhkan pidana dan hak untuk melaksanakan pidana (Suringa, 1953: 1). Senada dengan Suringa adalah Vos yang juga membagi hukum pidana menjadi hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Secara tegas dinyatakan oleh Vos bahwa hukum pidana terdiri dari objektif (jus poenale) dan subjektif (jus puniendi). Jus poenale adalah aturan-aturan hukum objektif, yakni aturan hukum pidana. Hukum pidana materiil mengatur keadaan yang timbul dan tidak sesuai dengan hukum serta hukum acara beserta sanksi (hukum penintentiair) aturan mengenai kapan, siapa dan bagaimana pidana dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana subjektif atau jus puniendi masih menurut Vos adalah hak subjektif penguasa terhadap pemidanaan, terdiri dari hak untuk menuntut pidana, menjatuhkan pidana dan melaksanakan (Suringa, 1953: 2).

Demikian pula pengertian hukum pidana menurut Simons yang membaginya menjadi hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Dikatakan oleh Simons bahwa Hukum pidana dapat dibedakan menjadi hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Hukum pidana objektif adalah seluruh larangan atau dilarang sebagai pelanggaran oleh negara atau kekuasaan umum yang dapat dikenai pidana terhadap pelanggar dan bagaimana pidana itu diterapkan. Hukum pidana objektif adalah hukum pidana positif atau jus poenale. Hukum pidana subjektif adalah hak negara memberikan hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan, disebut juga jus puniendi (Simons, 1937: 1).

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Suringa, Vos dan Simons dapat disimpulkan bahwa hukum pidana objektif berkaitan dengan substansi hukum pidana yang berisi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan formil hukum pidana sepanjang menyangkut acara pengenaan pidana tersebut. Sedangkan hukum pidana subjektif terkait hak negara untuk melaksanakan kewenangan terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana.


3. Hukum Pidana Umum Dan Hukum Pidana Khusus

Pembagian hukum pidana yang lain adalah hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga Negara sebagai subjek hukum tanpa membeda-bedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Materiil hukum pidana umum ini bersumber pada KUHP dan formil hukum pidana umum bersumber pada KUHAP. Selain hukum pidana umum ini, ada juga yang disebut sebagai hukum pidana khusus. Pembagian hukum pidana khusus dapat didasarkan atas dasar subjek hukumnya maupun atas dasar pengaturannya.

Dilihat dari subjek hukumnya, hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara hanya di khusus -kan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja, misalnya. hukum pidana militer. Hukum pidana khusus militer merupakan hukum pidana khusus yang tertua di dunia yang hanya diperuntukkan bagi mereka yang menjadi anggota militer aktif. Hukum pidana militer ini dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Pelanggaran terhadap KUHPM juga tidak diadili di lingkungan peradilan umum melainkan diadili di lingkungan peradilan militer.

Dilihat dari pengaturannya, hukum pidana khusus adalah ketentuanketentuan hukum pidana yang secara materiial menyimpang dari KUHP atau secara formil menyimpang dari KUHAP. Atas dasar pengaturan tersebut, hukum pidana khusus dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana khusus dalam undang-undang pidana dan hukum pidana khusus tidak dalam undang-undang pidana. Hukum pidana khusus dalam undang-undang pidana contohnya adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan lain sebagainya.

Dalam sejumlah undang-undang tersebut, aturan mengenai hukum materiil maupun aturan mengenai hukum formilnya menyimpang dari KUHP dan KUHAP. Oleh sebab itu dalam konteks teori tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme dan tindak pidana pencucian uang sering disebut sebagai tindak pidana khusus dan undang-undangnya disebut sebagai hukum pidana khusus. Keberlakuan hukum pidana khusus ini didasarkan pada asas lex specialis derogat legi generali atau hukum khusus mengesampingkan hukum umum. Adanya tindak pidana khusus disebabkan perkembangan jaman sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan semakin canggih dengan modus operandi (cara melakukan kejahatan) yang tidak mudah, rumit dan kompleks.

Terkait tindak pidana korupsi, kekhususannya sebagai tindak pidana khusus tidak hanya karena ketentuan dalam undang-undang tersebut menyimpang dari KUHP dan KUHAP tetapi juga berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009, khusus tindak pidana korupsi harus diadili di pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang berada di lingkungan peradilan umum. Bahkan berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anti-korupsi, tindak pidana korupsi tidak hanya sebagai tindak pidana khusus melainkan juga sebagai kejahatan luar biasa yang bertaraf internasional. Demikian pula dengan tindak pidana terorisme yang tidak hanya sebagai tindak pidana khusus tetapi juga sebagai kejahatan luar biasa bertaraf internasional. Kondisi tersebut sama dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana terorisme, Undang-Undang Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga mengatur ketentuan yang menyimpang dari KUHP dan KUHAP, khususnya masalah pembuktian.

Hukum pidana khusus yang bukan dalam undang-undang pidana sebagai misal adalah Undang-Undang Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Tentang Kehutanan, Undang-Undang Tentang Perbankan dan masih banyak lagi. Di dalam sejumlah undang-undang tersebut terdapat sejumlah ketentuan pidana baik materiil maupun formil yang diatur secara khusus menyimpang dari KUHP dan KUHAP. Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik di dalamnya memuat ketentuan pidana materiil yang menyimpang dari KUHP khususnya terkait ancaman pidana.

Sedangkan ketentuan formil dalam undang-undang tersebut pada dasarnya sama dengan KUHAP kecuali terkait alat bukti yang mengalami perluasan atau diatur menyimpang dari KUHAP.
Dalam Undang-Undang Kehutanan, baik ketentuan pidana materiil maupun ketentuan pidana formil menyimpang dari KUHP dan KUHAP, khususnya terkait ancaman pidana dan pejabat yang dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana kehutanan. Demikian pula dalam Undang-Undang Tentang Perbankan yang juga memuat ketentuan pidana materiil yang berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP, sedangkan ketentuan formil dalam undang-undang tersebut sama dengan KUHAP. Kekhususan lainnya dalam Undang-Undang Tentang Perbankan adalah subjek hukum yang dapat dijerat melakukan tindak pidana perbankan juga sangat khusus, yaitu pemegang saham, komisaris bank, direksi bank, pegawai bank dan pihak terafiliasi.


4. Hukum Pidana Nasional, Hukum Pidana Lokal dan Hukum Pidana Internasional

Pada dasarnya ada kesatuan hukum pidana nasional yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia yang disebut sebagai unifikasi hukum pidana. Hukum pidana nasional ini baik meliputi hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil, baik hukum pidana umum maupun hukum pidana khusus. Dasar keberlakuan hukum pidana nasional adalah asas teritorial yang berarti bahwa ketentuan pidana nasional berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di seluruh wilayah Indonesia.

Hukum pidana nasional ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden. Bentuk hukum dari hukum pidana nasional adalah undang-undang nasional. Hukum pidana nasional ini dimuat dalam KUHP dan undang-undang khusus nasional , baik yang termasuk undang-undang pidana nasional maupun bukan undang-undang pidana nasional sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama-sama dengan Gubernur, Bupati atau Walikota. Bentuk hukum pidana lokal dimuat dalam peraturan daerah dan hanya berlaku bagi daerah tersebut saja (lokal). Ada pembatasan terhadap ancaman pidana lokal yang boleh dicantumkan dalam suatu peraturan lokal daerah. Sebagai misal, dalam peraturan daerah tidak diperkenankan mencantumkan sanksi pidana berupa penjara.

Demikian pula ada batasan maksimum pidana kurungan dan pidana denda yang dapat dijatuhkan. Selain hukum pidana nasional dan hukum pidana lokal, ada juga hukum pidana internasional yang bertolak dari perkembangan zaman bahwa terdapat perbuatan-perbuatan yang dilarang yang kekuatan berlakunya tidak hanya dipertahankan oleh kedaulatan suatu negara tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat internasional. Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikaiskan sebagai kejahatan internasional yang merupakan substansi pokok dari hukum pidana internasional.

Roling mendefinisikan hukum pidana internasional sebagai hukum yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata nyata dilakukan jika terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya (Atmasasmita, 2003: 20).

Shinta Agustina dengan mengutip pendapat Edmund M. Wise menyatakan bahwa hukum pidana internasional dalam pengertian yang paling luas meliputi tiga topik : 
  1. Kekuasaan mengadili dari pengadilan negara tertentu terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur asing. Hal ini terkait yurisdiksi tindak pidana internasional, pengakuan putusan pengadilan asing dan kerjasama antar negara dalam menanggulangi tindak pidana internasional.
  2. Prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan kewajiban pada negara-negara dalam hukum pidana atau hukum acara pidana nasional negara yang bersangkutan. Kewajiban tersebut antara lain untuk menghormati hak-hak asasi seorang tersangka atau hak untuk menuntut dan menjatuhi pidana terhadap pelaku tindak pidana internasional.
  3. Mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian hukum pidana internasional termasuk instrumen penegakan hukumnya. Dalam hal ini adalah pembentukan mahkamah pidana internasional (Agustina, 2006: 14-15).

Anthony Aust menyatakan bahwa terminologi hukum pidana international biasanya digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek internasional yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan internasional (Anthony Aust). Antonio Cassese mendefinikan hukum pidana internasional sebagai bagian dari aturan-aturan internasional mengenai larangan-larangan kejahatan internasional dan kewajiban negara melakukan penuntutan dan hukuman beberapa kejahatan (Cassese, 2003: 141). 

Menurut George Sehwarzenberger sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita, memberi enam pengertian terhadap hukum pidana internasional:
  1. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional.
  2. Hukum pidana internasional dalam arti aspek internasional yang diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum pidana nasional.
  3. Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan di dalam hukum pidana nasional.
  4. Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradab.
  5. Hukum pidana internasional dalam arti kerjasama internasional sebagai mekanisme administrasi peradilan nasional.
  6. Hukum pidana internasional dalam arti kata materiil (Cassese, 2003: 21-26).

Cherif Bassiouni menyatakan bahwa hukum pidana internasional adalah perpaduan dua disiplin hukum yang berbeda, agar dapat saling melengkapi, yaitu aspek-aspek pidana dari hukum internasional dan aspek aspek internaional dari hukum pidana (Cassese, 2003: 27). Berbeda dengan berbagai pendapat di atas Remmelink tidak menggunakan istilah hukum pidana internasional, melainkan "hukum pidana supra nasional" yang pada hakekatnya adalah hukum pidana yang keberlakuannya pada hukum antar bangsa tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip internasional dan kebiasaan-kebiasaan internasional (Remmelink, 2003: 390). Enschede tidak memberikan definisi hukum pidana internasional, namun menyatakan bahwa hukum pidana dalam artian yang luas mencakup hukum pidana internasional yang berkaitan dengan hukum internasional khususnya kejahatan-kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Enschede, 2002: 34).

Berdasarkan berbagai definisi hukum pidana internasional sebagaimana telah diutarakan di atas, materiil hukum pidana internasional adalah perbuatan-perbuatan yang menurut hukum internasional adalah kejahatan internasional dan formil hukum pidana internasional dalam pengertian penegakan hukum pidana internasional adalah aspek internasional dalam hukum pidana nasional. Secara singkat penulis memberikan definisi hukum pidana internasional sebagai seperangkat aturan menyangkut kejahatankejahatan internasional yang penegakannya dilakukan oleh negara atas dasar kerjasama internasional atau oleh masyarakat internasioal melalui suatu lembaga internasional baik yang bersifat permanen maupun yang bersifat adhoc.


5. Hukum Pidana Tertulis Dan Hukum Pidana Tidak Tertulis

Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis jarang ditemukan karena sifat dan karakter hukum pidana pada dasarnya haruslah tertulis. Hal ini didasarkan pada asas legalitas tertulis dalam hukum pidana dengan salah satu makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah prinsip lex scripta yang berarti aturan pidana haruslah tertulis. Pembagian hukum pidana menjadi hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis didasarkan pada bentuk atau wadahnya.

Hukum pidana tertulis disebut juga dengan hukum pidana undang-undang tertulis yang terdiri dari hukum pidana kodifikasi seperti KUHP tertulis dan KUHAP tertulis dan hukum pidana di luar kodifikasi tertulis, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang dijalankan oleh negara adalah hukum pidana tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas.

Hukum pidana tidak tertulis disebut juga hukum pidana adat yang keberlakuan dipertahankan dan dapat dipaksakan oleh masyarakat adat setempat. Hukum pidana adat tidak dapat dijalankan meskipun berdasarkan Pasal 5 (3b) Undang-Undang Nomor. 1/Drt/1951 memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat dalam arti yang sangat terbatas.

Bila kita cermati konsep RUU KUHP keberadaan hukum pidana tidak tertulis patut diperhatikan. Dalam Bab I, Pasal 1 RUU KUHP dikatakan, "Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan". Pada ayat (2) dinyatakan, "Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi". Sedangkan pada ayat (3) berbunyi, "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan". Sementara pada ayat (4) menyebutkan, "Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa".

Terhadap RUU KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa di masa depan, asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak bersifat absolut karena adanya ketentuan ayat (3) yang secara implisit mengakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) di atas, hukum yang tidak tertulis tersebut tidak hanya berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia serta kearifan lokal semata, akan tetapi juga dapat bersumber dari prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Pembatasan terhadap asas legalitas sebagaimana termaktub di atas dimaksudkan untuk menegakkan keadilan bahwa seyogyanya perbuatan yang tidak wajar, tercela atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dapat dipidana meskipun secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya (Mahfud MD, 2006: 5).

Komentar