Pengertian Filsafat Hikmah, Filsafat Kehidupan, Universal, Khusus, dan Filsafat Umum

Pendapat umum mengatakan bahwa studi filsafat adalah studi yang "njlimet". Mahasiswa filsafat tidak ubahnya dianggap sebagai pemikir yang berlebihan, bahkan sering kebablasan, atau kadang-kadang orang melihatnya sebagai orang gila. Apakah yang demikian benar adanya?

Untuk mengklarifikasi pemahaman awam terhadap filsafat, pokok bahasan plengdut.com kali ini akan memaparkan berbagai hal mengenai filsafat dan ruang lingkup kajian filsafat. Anda selaku pembaca, jangan terlalu serius dan jangan bingung. Bacalah dengan pikiran terbuka dan penghayatan.

Pengertian Filsafat

Untuk mempelajari suatu disiplin ilmu, tidak lengkap jika terlebih dahulu Anda tidak mengetahui pengertian atau definisi dari disiplin tersebut. Oleh karena itu, terlebih dahulu Anda harus mengetahui apa itu filsafat, pengertian karakteristik filsafat, dan hal-hal yang dibicarakan dalam filsafat. Untuk mendefinisikan pengertian sesuatu kadang tidak mudah karena sangat tergantung dari sisi mana Anda melihatnya. Ibarat beberapa orang buta yang diminta memegang gajah. Beragam pengertian definisi pun akan muncul, seperti gajah adalah sebuah makhluk hidup yang panjang karena memegang belalainya; gajah adalah sebuah benda yang runcing dan tajam karena yang bersangkutan memegang gadingnya, dan seterusnya.

Kalau kita telisik pengertian filsafat secara etimologi (akar kata), kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia. Philos artinya pecinta dan sophia artinya kebijaksanaan. Dengan kata lain, secara mudah, Anda akan mengatakan bahwa filsafat merujuk pada makna cinta kebijaksanaan, pengertian cinta ilmu, atau cinta akan hikmah.

Secara terminologi, ada yang memberikan makna bahwa filsafat bermakna pengertian kegiatan berpikir secara radikal. Radikal berasal dari kata radix yang artinya akar. Berpikir radikal artinya berpikir sampai akar suatu masalah, melewati batas-batas fisik yang ada, dan memasuki medan pengembaraan di luar sesuatu yang fisik (Anshori, 2006: 2).

Terkait dengan filsafat ini, kita tidak akan memahami secara utuh filsafat sebelum kita mengetahui ruang lingkup kajian filsafat dan persoalan-persoalan yang ditanganinya. Di sisi lain, para filsuf mempunyai pandangan yang berbeda mengenai arti, objek, metode filsafat, tujuan, dan nilai filsafat. Pendefinisian filsafat tidak akan mudah dilakukan. Akan tetapi, melalui tulisan ini, kami akan kemukakan arti-arti terpenting dari kata “filsafat” itu sebagai berikut.

1. Filsafat dalam Arti Cinta Kebijaksanaan (Hikmah)

Ini adalah arti dari kata filsafat itu sendiri. Ada pendapat yang mengatakan bahwa Phytagoras, seorang filsuf Yunani Klasik, mengambil kata “filsafat” dari dua kata berbahasa Yunani, yaitu philo dan sophia. Philo berarti cinta, sedangkan sophia berarti bijaksana. Dengan demikian, secara etimologi/lughowi, kata philoshopia berarti cinta kepada kebijaksanaan.

Orang-orang Yunani sebelum Phytagoras mengartikan kata shophia sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Kemudian, maknanya berkembang dan digunakan sebagai istilah untuk kecakapan di bidang syair dan musik. Selain itu, juga bermakna memiliki ketajaman pikiran dan perilaku yang baik. Pada akhirnya, makna sophia berkembang lagi dan digunakan untuk menyebut jenis pengetahuan tertinggi, yakni pengetahuan yang bisa mengantarkan kita untuk mengetahui kebenaran murni.

Karena kebijaksanaan (sophia) atau pengetahuan terhadap kebenaran murni itu merupakan suatu pencapaian yang sulit dilakukan atau hanya Tuhan yang mampu melakukannya, menurut Phytagoras yang pantas bagi manusia adalah sekadar “pecinta kebijaksanaan”. Dia menegaskan, “Cukuplah seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”

Kata “filsafat” kemudian masuk dalam bahasa Arab menjadi “falsafah”, lalu masuk dalam bahasa Inggris menjadi philosophy. Sepanjang sejarahnya, “filsafat” menjadi saksi dari kerendahan hati para filsuf yang tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang mampu mengetahui segala-galanya, melainkan sekadar sebagai para pencari dan pecinta kebijaksanaan (hikmah) (Ismail dan Mutawali, 2003: 20).

Pencarian pengetahuan tentang kebenaran murni menuntut usaha yang serius dan kerja yang terus-menerus. Oleh karena itu, filsafat terkait erat dengan pengamatan dan pemikiran rasional. Dengan demikian, seorang filsuf dalam istilah Plato adalah “orang yang sadar (terjaga) dan membuka pandangannya terhadap segala hal yang ada di alam eksistensi sambil berusaha untuk memahaminya, sedangkan orang lain menghabiskan hidupnya dalam keadaan tertidur (Ismail dan Mutawali, 2003: 20).”

2. Filsafat dalam Arti Umum

Dalam arti umum, filsafat digunakan untuk menyebut berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia tentang berbagai kesulitan yang dihadapinya serta berusaha untuk menemukan solusi yang tepat. Misalnya, ketika kita menanyakan, “siapakah saya?”, “dari mana saya berasal?”, “mengapa saya ada di sini?”, “bagaimana kedudukan manusia dalam semesta alam ini?”, dan seterusnya.

Beginilah Aristoteles memahami filsafat ketika ia menyebutnya sebagai sebuah nama dari ilmu dalam arti yang paling umum. Pemahaman filsafat umum seperti ini selanjutnya berkembang dalam pemikiran Islam. Sejalan ini, Abu Nashr al-Farabi mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun di alam ini yang tidak bisa dimasuki oleh filsafat.”

3. Filsafat dalam Arti Khusus

Filsafat dalam arti khusus memiliki persamaan dengan sebuah mazhab atau aliran pemikiran tertentu. Arti seperti ini akan langsung tebersit dalam pikiran kita ketika kata filsafat dirangkaikan dengan nama salah seorang filsuf, misalnya filsafat Aristoteles atau filsafat Plato.

Perangkaian kata filsafat dengan nama seorang filsuf tertentu mengindikasikan bahwa setiap filsuf dengan aktivitas filsafat yang dilakukannya bermaksud membangun suatu bentuk penafsiran khusus yang lengkap dan menyeluruh terhadap segala sesuatu. Dalam Islam, dikenal dengan mazhab yang di kalangan suni saja terdapat empat mazhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Di kalangan syiah, juga terdapat berbagai mazhab besar, yang juga terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka mengenai permasalahan yang secara syariah adalah sama.
Perangkaian kata filsafat dengan nama seorang filsuf tertentu mengindikasikan bahwa setiap filsuf dengan aktivitas filsafat yang dilakukannya bermaksud membangun suatu bentuk penafsiran khusus yang lengkap dan menyeluruh terhadap segala sesuatu. Dalam Islam, dikenal dengan mazhab yang di kalangan suni saja terdapat empat mazhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Di kalangan syiah, juga terdapat berbagai mazhab besar, yang juga terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka mengenai permasalahan yang secara syariah adalah sama.
Seorang filsuf, dalam membangun filsafatnya, memulai dengan satu prinsip yang diyakini kebenarannya. Misalnya, keyakinan terhadap prinsip yang mengatakan bahwa asal usul wujud (being) adalah materi, akal, atau kehidupan. Juga, keyakinan bahwa semua jenis pengetahuan merujuk pada indra, akal, atau pada indra dan akal secara bersamaan. Dari prinsip yang diyakininya itu, seorang filsuf kemudian menyusun kesimpulan-kesimpulannya yang selanjutnya dijadikan sebagai preposisi bagi sebuah kesimpulan akhir. Demikianlah sampai kemudian sempurna menjadi bangunan (sistem) filsafat tersendiri.

Melalui konstruksi filsafatnya itu, ia akan menafsirkan segala segi alam wujud (being) berdasarkan prinsip yang diyakini dan dipercayainya. Kemudian, seorang filsuf lain muncul dan tidak tertarik dengan konstruksi filsafat tersebut. Lalu, ia pun membangun model filsafat sendiri berdasarkan prinsip baru yang diyakininya. Begitulah para filsuf membangun berbagai mazhab dan aliran filsafatnya masing-masing. Maka itu, sejarah filsafat pada dasarnya hanyalah sejarah membangun berbagai mazhab, menolaknya, dan kemudian membangun mazhab-mazhab yang baru.

4. Filsafat dalam Arti Universal

Dalam arti ini, filsafat universal berarti pengetahuan terhadap wujud (being) dalam universalitasnya dan bukan partikularitasnya. Dalam mengkaji alam semesta, ilmu-ilmu partikular atau khusus tidak hanya berhenti pada fenomena-fenomena yang tampak, tetapi juga memiliki perhatian dan berusaha untuk sampai pada hukum-hukum universal umum yang bisa diterapkan pada objek kajian tadi. Akan tetapi, filsafat melakukan sesuatu yang universal lebih jauh dari itu. Filsafat berusaha untuk menyatukan hal-hal yang ada secara keseluruhan dalam sebuah bingkai rasional yang dapat menafsirkan berbagai fenomena riil universal.

Oleh karena itu, filsuf senantiasa mempertanyakan hal berikut. Apakah alam ini materi atau jiwa atau percampuran antara keduanya? Apakah di balik fenomena-fenomena alam yang berubah ini ada sesuatu yang tetap dan tidak berubah? Apakah semua peristiwa yang terjadi di alam ini bersifat kebetulan atau ia berjalan menurut sebuah sistem yang ajek? Berkaitan dengan arti filsafat sebagai ilmu yang bersifat universal, Herbert Spencer (filsuf Inggris, 1820—1903 M) pernah mengatakan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang menyatukan hal-hal yang ada (being) secara parsial (partikular), sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang menyatukannya secara sempurna (universal).

Terkait dengan arti universal filsafat tersebut, Plato juga pernah mendeskripsikan filsuf sebagai orang yang mampu melihat alam kosmik secara menyeluruh sekaligus menguasai zaman secara menyeluruh pula. Hal senada juga diungkapkan oleh Zakaria Ibrahim bahwa tugas seorang filsuf adalah memercayai apa yang diucapkan oleh zaman dan waktu, bukan yang diucapkan oleh detik dan jam serta cenderung pada dimensi ada (being) dan bukan pada berbagai objeknya (Zakaria Ibrahim, 1962: 12).

5. Filsafat dalam Arti Hikmah Kehidupan

Filsafat dipahami sebagai orientasi yang mencerahkan kehidupan sesuai dengan tuntutan akal. Filsuf bukanlah seseorang yang hidup dalam menara gading dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat, seperti yang selama ini digambarkan oleh banyak orang. Bahkan, kehidupan filsuf adalah pribadi yang hidup menyatu dengan masyarakat dan berbagai persoalannya. 

Dialog pemikiran dan diskusi filosofisnya merupakan sebuah proses berhadapan dengan realitas yang memiliki ciri positivistis. Seorang filsuf dalam menghadapi berbagai persoalan hidup tidak sekadar mengamati dan memikirkannya untuk memahami kehidupan dan menafsirkannya. Namun, juga memanfaatkan pemahaman ini untuk sampai pada berbagai solusi kehidupan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut serta mengarahkan manusia menuju suatu bentuk kehidupan yang lebih utama, baik untuk pribadi maupun masyarakat.

Orientasi untuk mengarahkan kehidupan ini bukan sesuatu yang baru dalam filsafat. Plato sejak masa Yunani telah menggambarkan sebuah model “masyarakat manusia”, seperti yang dicita-citakannya. Dalam deskripsinya, Plato berusaha untuk menghilangkan berbagai aib (cela) yang ada dalam masyarakat, yaitu membuat suatu pola reformasi umum.



Filsafat juga terdapat dalam berbagai gerakan kebangkitan sosial dan ilmiah serta memikul beban untuk mengarahkan kehidupan menjadi lebih baik dan mulia. Di antara tokoh-tokoh filsafat kontemporer, ada yang berusaha untuk menjadikan orientasi ini sebagai satu-satunya orientasi dalam filsafat, misalnya Karl Marx yang mengusung filsafat materialisme.

Marx mengkritik habis filsafat klasik yang hanya menafsirkan alam dan memandang bahwa hal tersebut tidak benar. Tugas filsafat adalah bekerja untuk mengubah alam. Menurut Marx, dengan mengubah alam, manusia akan mengubah dirinya dan akan membentuk suatu hukum baru yang memudahkan jalannya sejarah.

Filsafat pragmatisme juga memiliki orientasi ini. William James, tokoh filsafat pragmatisme yang paling terkenal, menyatakan, “Filsuf dalam arti yang sesungguhnya adalah seseorang yang berpikir untuk merealisasikan suatu manfaat yang dicarinya.” Orientasi ini memberikan kesempatan kepada sebagian pemikir untuk membicarakan filsafat politik berbagai negara dalam hasil karya mereka.

Secara saksama, perbuatan keseharian kehidupan Anda mencerminkan bahwa pada dasarnya Anda selalu berfilsafat. Sebagai individu, sering kali kita terpaksa menganalisis perbuatan-perbuatan kehidupan kita, mengoreksi penilaian, dan mempertimbangkan ukuran-ukuran (standar kehidupan) yang kita buat sendiri serta membatasi hubungan kita, baik dengan alam maupun orang lain. Sepanjang kita memahami filsafat sebagai sebuah proses kritik, analisis, dan evaluasi terhadap kehidupan, kehidupan kita sesungguhnya nyaris tidak pernah terpisah dari filsafat.

Untuk melengkapi pengertian filsafat, saya perlu menyampaikan kepada Anda perbandingan antara filsafat dan agama, bagaimana hubungan antara filsafat dan agama, serta harmonisasi antara filsafat dan agama. Penjelasan mengenai hal tersebut sebagai berikut.

a. Filsafat dan agama

Di awal, saya menegaskan bahwa tidak pernah ada pertentangan antara filsafat dan agama. Bahkan, pandangan sebagian filsuf, khususnya filsuf muslim, bahwa berfilsafat dapat menopang dan meningkatkan keimanan. Di sisi lain, keimanan atau ajaran agama apa pun tidak melarang seseorang untuk berpikir produktif, kreatif, dan inovatif.

Banyak ayat dalam Alquran yang menantang manusia untuk selalu berpikir produktif, kreatif, dan inovatif. Dapat saya contohkan, ada ayat Alquran dalam surah Arrahman yang menjelaskan bahwa kamu sekalian tidak akan dapat melintasi langit dan bumi, kecuali dengan kekuatan (ilmu); ayat Alquran dalam surah Almujadilah yang menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan; dan sebagainya.

Contoh dari kalangan filsuf Barat adalah Thomas Aquinas. Ia merupakan filsuf yang inovatif sekaligus sebagai orang yang taat beragama. Begitu pula para ulama. Mereka adalah pemikir muslim yang merepresentasikan integrasi antara berfilsafat yang benar dan pemahaman keagamaan yang mantap, misalnya Imam Ghazali.

Apa itu agama? Agama intinya adalah satu bentuk ketetapan Ilahi yang mengarahkan mereka yang berakal dengan pilihan mereka sendiri terhadap ketetapan Ilahi tersebut serta kepada kebaikan hidup dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat. Untuk lebih jelasnya, agama memiliki beberapa kriteria sebagai berikut.
  1. Agama adalah sebuah sistem yang datang dari langit (Tuhan).
  2. Tujuan agama adalah mengarahkan dan membimbing akal manusia.
  3. Dasar beragama adalah kebebasan pilihan.
  4. Agama wahyu membawa kebaikan hidup di dunia dan akhirat.
Lebih lanjut, kita perlu melihat dan mengetahui pokok-pokok keagamaan yang benar. Pokok-pokok dimaksud dapat dirangkum sebagai berikut.
  1. Kepercayaan terhadap satu Tuhan yang Mahakuasa dan Bijaksana, terbebas dari kemiripan dengan makhluk, serta tidak berawal ataupun berakhir dalam wujud-Nya.
  2. Kepercayaan terhadap alam lain, yaitu di dalamnya terdapat makhluk-makhluk jenis lain, seperti malaikat dan jin.
  3. Kepercayaan terhadap pengutusan para rasul Tuhan untuk mengajarkan manusia bagaimana cara menjalani hidup.
  4. Kepercayaan terhadap adanya kehidupan lain setelah kehidupan dunia ini, yaitu kita akan dimintai perhitungan dan diberi balasan sesuai dengan amal perbuatan kita. Jika baik dibalas baik dan jika buruk dibalas buruk.

b. Hubungan filsafat dan agama

Filsafat Yunani terpisah dari agama Yunani yang penuh khurafat dan mitos. Di Yunani bersifat unik karena masyarakatnya merupakan penganut paham politheisme secara teologis, sedangkan para filsuf justru membela paham monotheisme.

Adapun bangsa Yahudi sangat mengagumi filsafat Yunani dan menganggapnya sebagai medan berpikir untuk akal sambil tetap berpegang pada kitab suci Taurat beserta ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, bangsa Yahudi berusaha membungkus keyakinan agama mereka dengan pola filsafat. Mereka berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah berbakti kepada hidup beragama.

Pada abad pertengahan, bangsa Eropa menjadikan filsafat sebagai sarana untuk mengharmonisasikan antara akal dan apa yang dibawa oleh agama. Bahkan, para ahli teologi di Barat dan ahli kalam di dunia Islam telah menjadikan filsafat sebagai “tameng” pertahanan akidah dengan segala argumentasi rasionalnya.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa hubungan antara filsafat dan agama tidak selalu harmonis. Kekuasaan agama selama beberapa kurun waktu pernah begitu bengis memusuhi filsafat, misalnya yang terjadi pada masa kebangkitan Eropa (Renaissance) dan pada masa Islam, yakni adanya suatu golongan yang fanatik menentang kebebasan berpikir.

Pada saat itu, mereka ingin membelenggu pemikiran manusia sambil menjadikan diri mereka sebagai “panglima” bagi akal (pemikiran). Dengan begitu, sesungguhnya mereka telah mengotori agama dan ajaran luhurnya. Mereka juga telah mengkhianati filsafat dan ilmu pengetahuan. Di sini, terlihat bahwa pertentangan yang ada bukan antara filsafat dan agama, tetapi antara filsafat dan para pemuka agama yang fanatik.

c. Harmonisasi filsafat dengan agama di kalangan filsuf muslim

Ciri paling khusus dari filsafat Islam, secara keseluruhan, merupakan usaha yang diarahkan untuk mengompromikan antara filsafat dan agama. Para filsuf muslim hidup di lingkungan masyarakat Islam dan terpengaruh oleh suasana yang berkembang pada saat itu sehingga tentu saja mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengompromikan antara akidah mereka dan kajian-kajian filsafatnya. Hal ini dengan jelas dapat ditemukan pada Ibnu Sina dan al-Farabi.

Para filsuf muslim banyak menganut pemikiran filsuf Yunani, khususnya pemikiran Aristoteles. Namun demikian, mereka menemukan banyak ketidakcocokan antara pemikiran tersebut dan pokok-pokok akidah Islam. Oleh karena itu, mereka berusaha keras untuk memberikan corak keagamaan pada Filsafat Yunani sekaligus memberi “bungkus” filosofis dalam penjelasan tentang agama.

Komentar