Dasar Hukum Adat

Undang-Undang Dasar 1945 pada ketentuan Aturan Peralihan pasal II menyatakan bahwa "segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini ".

Dalam Aturan Peralihan tersebut terdapat dua hal yang tetap dipertahankan daya berlakunya setelah Indonesia merdeka, yaitu badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada. Yang dimaksudkan dengan badan-badan negara adalah lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial. Seperti pengadilan desa dan pengadilan swapraja.
Dalam Aturan Peralihan tersebut terdapat dua hal yang tetap dipertahankan daya berlakunya setelah Indonesia merdeka, yaitu badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada. Yang dimaksudkan dengan badan-badan negara adalah lembaga hukum yang telah ada baik sebelum maupun pada masa-masa kolonial. Seperti pengadilan desa dan pengadilan swapraja.


Sementara itu, yang dimaksudkan dengan peraturan-peraturan adalah ketentuan-ketentuan hukum, seperti dalam Pasal 131 dan Pasal 163 I.S, yang pada prinsipnya menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap berlaku Hukum Adat, sedangkan bagi warga negara Indonesia keturunan sesuai dengan yang ditetapkan bagi mereka. Untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku Hukum Perdata Eropa (BW) dan untuk orang Indonesia keturunan Timur Asing lainnya berlaku sebagian Hukum Perdata Eropa dan sebagian Hukum asli mereka (Otje Salman, 2011: 152).

Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menyebut istilah Hukum Adat, tetapi melalui ketentuan Aturan Peralihan Pasal II sudah merupakan legitimasi bahwa di luar hukum dasar perundang-undangan, diakui pula hukum-hukum yang tidak tertulis (Hukum Adat).

Komentar