Sejarah Perlindungan Konsumen di Dunia dan di Indonesia

Keberadaan hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan sejarah gerakan perlindungan konsumen di dunia. Munculnya gerakan perlindungan konsumen di latar belakangi beberapa hal terkait dengan sejarah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, Industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.

Sejarah perlindungan konsumen di dunia

Sejarah gerakan perlindungan konsumen di dunia tidak bisa dilepaskan dari sejarah gerakan-gerakan perlindungan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat, serta perlindungan negara-negara di Eropa seperti konsumen di Inggris, Belanda, Belgia, dll.

Secara umum sejarah dunia gerakan perlindungan konsumen dapat di bagi dalam empat tahapan sejarah, yakni sebagai berikut (Shidarta, 2004: 36-37):

1) Tahapan I (1981-1914)

Pada sejarah kurun waktu ini merupakan awal munculnya kesadaran masyarakat dunia melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, diakibatkan novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan konsumen.

2) Tahapan II (1920-1940)

Pada kurun waktu sejarah ini muncul pula buku yang berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu mengunggah konsumen atas hak-hak perlindungan mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan konsumen: fair deal, best buy.

3) Tahapan III (1950-1960)

Pada dekade sejarah 1950-an muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan-gerakan perlindungan dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil perlindungan gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of Consumer Union (IOCU) yang berpusat di Den Haag Belanda dan dalam perkembangannya pada tahun 1993 berubah menjadi Consumers International (CI) yang berpusat di London Inggris.

4) Tahapan IV (pasca 1965)

Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat perlindungan regional maupun perlindungan internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah serta negara-negara maju yang berpusat di London, Inggris.
Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen (Zulham, 2013: 27). Perhatian terhadap perlindungan konsumen di Amerika Serikat (1960-an-1970-an) mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi objek perlindungan kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum, dengan munculnya buku-buku yang membahas perlindungan konsumen, diundangkannya banyak peraturan serta diikuti dengan putusan hakim yang memperkuat perlindungan kedudukan konsumen (Shidarta, 2004: 35).

Di Amerika Serikat perkembangan gerakan perlindungan konsumen dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa ketentuan peraturan perlindungan perundang-undangan yang melindungi konsumen. Peraturan tersebut yakni the Food, Drug and Cosmetic Act, dimana materinya berada dibawah kewenangan the Federal Trade Commission (FTC). Selain itu diundangkannya juga the Wool Products Labeling Act (1940), dan the Fur Products Labeling Act (1951), serta the Fiber Products Indetification Act (1958) (Shidarta, 2004: 44).

Gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat pada era 1960-an mencatat kejadian penting yakni pada 15 Maret 1962 pada saat Presiden John F. Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat. Dalam Pidato yang berjudul A Special Message of Protection the Consumen Interest, Kennedy mengemukakan empat hak konsumen (Shidarta, 2004: 44-45) yakni sebagai berikut:
  1. The right to safety – to be protected against the marketing of good that are hazardoes to health or life.
  2. The right to be informed – to be protected against fraudulent, deceitful, or grossly, misleading information, advertising, labeling, and other practices, and to be given the facts needed to make informed choices.
  3. The right to choose – to be assured, wherever possible, acces to a varietyof products and services at competitive prices. And in those industries in which competition is not workable and government regulation is subsituted, there should be assurance of satisfactory quality and service at fair prices.
  4. The right to be heard – to be assured that consumer interests will receive full and sympathetic consideration in formulation of government policy and fair and expeditatious treatment in its administrative tribunals.

Hak-hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy menginspirasi dan dikembangkan lagi oleh penggantinya yakni presiden L.B. Johnson. Selain mengingatkan kembali empat perlindungan hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy, ia juga memperkenalkan perlindungan konsep hukum baru yang berkenaan dengan perlindungan konsumen, yakni product warranty dan product liability. Selain itu, jasa presiden L.B. Jhonson dalam perlindungan konsumen di Amerika Serikat yakni berhasil mengajukan rancangan undang-undang tentang “lending charges” dan “packaging practices” yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1967 dan 1968 (Shidarta, 2004: 45).

Disetujuinya undang-undang di bidang perlindungan konsumen oleh Kongres Amerika Serikat tidak terlepas dari sosialisasi dan gerakan perlindungan konsumen yang terus menurus terjadi di Amerika Serikat. Salah satu publikasi hasil riset di bidang perlindungan konsumen menggugah kesadaran pihak legislatif dan yudikatif di Amerika Serikat yakni publikasi penelitian yang dilakukan oleh Ralp Nader dalam buku yang berjudul “Unsafe at Any Speed”. pada tahun 1966. Publikasi ini menyimpulkan bahwa mayoritas kendaraan bermotor yang diproduksi di Amerika Serikat mengabaikan keselamatan pengendaranya (Shidarta, 2004: 47).
Disetujuinya undang-undang di bidang perlindungan konsumen oleh Kongres Amerika Serikat tidak terlepas dari sosialisasi dan gerakan perlindungan konsumen yang terus menurus terjadi di Amerika Serikat. Salah satu publikasi hasil riset di bidang perlindungan konsumen menggugah kesadaran pihak legislatif dan yudikatif di Amerika Serikat yakni publikasi penelitian yang dilakukan oleh Ralp Nader dalam buku yang berjudul “Unsafe at Any Speed”. pada tahun 1966. Publikasi ini menyimpulkan bahwa mayoritas kendaraan bermotor yang diproduksi di Amerika Serikat mengabaikan keselamatan pengendaranya (Shidarta, 2004: 47).


Sosialisasi dan gerakan-gerakan perlindungan konsumen kemudian juga berkembang di berbagai negara baik di Eropa maupun di belahan bumi lainnya. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi atau lembaga pemerhati yang bergerak di bidang perlindungan konsumen yang bersifat internasional, yakni International Organization of Consumer Union (IOCU) pada tanggal 1 April 1960 yang berpusat di Den Haag Belanda, dan berpindah ke London, Inggris pada tahun 1993. Dalam Perkembangannya selanjutnya IOCU ini berubah nama menjadi Consumers International (CI) (shidarta, 2004: 37). Organisasi CI ini kemudian berkembang dan memiliki beberapa kantor regional di beberapa negara.

Pada tahap selanjutnya, perkembangan aspek perlindungan konsumen terjadi di beberapa negara di belahan dunia, dengan pembentukan undang-undang perlindungan konsumen. Negara-negara tersebut antara lain (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 15):
  • Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act tahun 1967, Unfair Trade Practices dan Consumer Protection (Lousiana) Law tahun 1973;
  • Inggris: The Consumer Protection Act tahun 1961;
  • Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amendment Act tahun 1971;
  • Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act) tahun 1975;
  • Thailand: Consumer Act tahun 1979;
  • Jepang: The Consumen Protection Fundamental Act, tahun 1968;
  • Australia: Consumer Affairs Act tahun 1978;
  • Irlandia: Consumer Information Act tahun 1978;

Setelah pengakuan perlindungan konsumen oleh beberapa negara di dunia dengan membentuk undang-undang perlindungan konsumen, akhirnya pada tahun 1985, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakomodir kepentingan-kepentingan konsumen. Salah satu pengakuan PBB terhadap perlindungan konsumen, PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. A/RES/39/248 Tanggal 16 April 1985 Tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan perlunya perlindungan bagi konsumen. Resolusi PBB ini populer dengan sebutan Guidelines for Consumer Protection, yang telah menetapkan perlindungan kepentingan-kepentingan konsumen. Perlindungan kepentingan konsumen dalam Guidelines for Consumer Protection meliputi hal-hal sebagai berikut (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 32-33):
  1. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;
  2. promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
  3. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pelatihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
  4. pendidikan konsumen;
  5. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
  6. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Sejarah perlindungan konsumen di Indonesia

Sejarah gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar dan populer pada tahun 1970-an, dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat Indonesia (nongovernmental organization) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973 (Zulham, 2013: 34). Setelah YLKI, sejarah juga mencatat berdirinya Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988. Kedua lembaga tersebut merupakan anggota dari Consumers International (CI) (Shidarta, 2004: 53). Selain kedua lembaga tersebut, saat ini juga telah banyak berdiri lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Indonesia antara lain, Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), Lembaga Konsumen Surabaya, dll.

Berdirinya lembaga-lembaga konsumen mempunyai peranan yang penting dalam pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia, yang secara aktif memberikan kontribusi terhadap perlindungan konsumen di Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga konsumen ini memiliki peranan penting baik dari segi advokasi maupun dari peningkatan kesadaran masyarakat mengenai perlindungan konsumen.

Perkembangan ke arah perlindungan konsumen di Indonesia selain munculnya lembaga-lembaga konsumen di Indonesia, juga ditandai dengan banyak diselenggarakan studi baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (Az. Nasution, 2011: 26). 

Menurut Az. Nasution (2011: 26) naskah-naskah akademik yang patut mendapat perhatian, antara lain naskah akademik yang:
  1. disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman (BPHN);
  2. disusun oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
  3. dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI.

Pemikiran ke arah pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen di Indonesia, dipicu oleh munculnya beberapa kasus yang merugikan konsumen serta penyelesaian sengketa konsumen yang tidak memuaskan konsumen (Zulham, 2013: 37). Kasus yang pernah terjadi antara lain kasus biskuit beracun beberapa tahun yang lalu yang terulang kembali dengan kasus mi instan (1994), hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja. Pada waktu itu korban/keluarganya tidak mendapatkan ganti rugi, kecuali sebatas santunan atas inisiatif mantan Menko Polhukam Sudomo pada waktu itu (Yusuf Shofie, 2009: 9). Selain itu, kasus yang pernah terjadi yakni kasus Janizal, dkk v. PT. Kentamik Super International yang dikenal dengan kasus Perumahan Naragong Indah. Dalam kasus ini pihak pengembang dimenangkan, dan justru pihak pengembang menggugat balik konsumen yang dinilai telah melakukan pencemaran nama baik (Zulham, 2013: 37).

Selain faktor di dalam negeri, menurut Inosentius Samsul (2004: 131-132), pembentuk undang-undang perlindungan konsumen juga disebabkan karena perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetery Fund (IMF), dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional di bidang perdagangan.

Akhirnya, di tahun 1999, perkembangan baru di bidang perlindungan konsumen di Indonesia mendapatkan pengakuan serta landasan hukum yang jelas dengan disahkan dan diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) atas hak inisiatif dari DPR RI. Selanjutnya, UUPK diberlakukan 1 (satu) tahun kemudian yakni pada tanggal 20 April 2000. Dengan diberlakukannya UUPK ini maka UUPK menjadi payung hukum pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia.

Namun demikian, pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen masih mengalami banyak tantangan, baik pada lingkup nasional maupun internasional. Berikut ini diuraikan beberapa tantangan hukum perlindungan konsumen tersebut:

1) Lemahnya kedudukan konsumen terhadap pelaku usaha

Hubungan pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya adalah hubungan yang saling ketergantungan. Pelaku usaha membutuhkan konsumen sebagai pembeli barang dan atau jasa yang ia produksi, sehingga keberadaan konsumen sangat menentukan terhadap kelangsungan bisnis dari pelaku usaha. Di satu sisi konsumen juga membutuhkan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga konsumen memiliki ketergantungan kepada pelaku usaha.

Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen idealnya sama-sama memiliki posisi tawar yang seimbang. Namun yang terjadi dalam praktiknya sering kedudukan posisi tawar pelaku usaha lebih kuat dari konsumen. Hal ini disebabkan karena konsumen dihadapkan kepada kekuatan kapital/modal maupun Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku usaha yang lebih unggul.

Pelaku usaha dengan kekuatan modalnya sering dalam memasarkan produknya senantiasa membebankan hak dan kewajiban yang tidak seimbang kepada konsumen. Salah satunya diwujudkan dengan penggunaan format perjanjian baku (standart contract) dalam kegiatan usahanya. Pada dasarnya, suatu perjanjian dibuat berdasarkan negosiasi oleh para pihak, tetapi dengan penggunaan perjanjian baku ini, isi perjanjian telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha. Konsumen tidak memiliki posisi tawar (bergaining position) yang seimbang dengan pelaku usaha, di mana dalam hal ini konsumen hanya dapat menerima atau menolak syarat-syarat perjanjian yang telah ditentukan pelaku usaha (take it or leave it). Jika konsumen menolak perjanjian tersebut dan mendatangi pelaku usaha lain, maka ia akan dihadapkan pada kondisi yang sama. Sehingga dengan posisinya yang lemah baik secara ekonomi maupun psikologis (membutuhkan barang dan/jasa), maka konsumen harus menerima persyaratan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam kegiatan perdagangan, penggunaan perjanjian baku pada dasarnya tidak dilarang karena merupakan wujud asas kebebasan berkontrak, dengan catatan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Selain keunggulan dalam hal modal, pelaku usaha juga memiliki keunggulan dalam hal SDM. Dalam menghadapi tuntutan konsumen terkait adanya kerugian yang dialami oleh konsumen, pelaku usaha memiliki SDM yang relatif unggul daripada konsumen. Pelaku usaha akan dengan mudah menyangkal tuntutan dari konsumen dengan mendasarkan pada keahlian maupun pengetahuannya terkait dengan barang dan/atau yang ia produksi atau ditawarkan. Sehingga jika konsumen tidak dapat membuktikan kesalahan pelaku usaha, yang menyebabkan kerugian konsumen, maka pelaku usaha tidak dapat dimintai ganti kerugian. Sebaliknya dari sisi konsumen, kondisi konsumen yang kurang teredukasi menyebabkan kedudukan konsumen semakin lemah. Selain itu, dari sisi pelaku usaha kesadaran untuk bertanggung jawab atas barang dan/jasa yang ia produksi juga kurang. Hal ini sangat terpengaruh doktrin caveat emptor yang menentukan bahwa konsumenlah yang harus berhati-hati sebelum membeli suatu produk dan bukan pelaku usaha yang harus berhati-hati (caveat venditor) dalam memproduksi barang dan/atau jasa.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh pelaku usaha pada dasarnya pelaku usaha lebih terorganisir baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal sesama pelaku usaha. Sedangkan konsumen cenderung bersifat individual dalam menghadapi permasalahan terkait hubungan konsumen dengan pelaku usaha. Sehingga hal ini menyebabkan konsumen segan untuk menuntut hak-haknya kepada pelaku usaha.

2) Industrialisasi dan kemajuan teknologi

Perkembangan dan pertumbuhan penduduk senantiasa membawa dampak terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Awalnya kebutuhan manusia dipenuhi dengan kegiatan produksi secara sederhana sesuai dengan kebutuhan manusia. Namun dalam perkembangannya seiring meningkatnya kebutuhan akan barang, kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi dengan kegiatan produksi secara sederhana atau dalam skala kecil.

Seiring dengan peningkatan jumlah kebutuhan barang-barang dan perkembangan kemajuan teknologi di bidang mesin-mesin produksi, di mana kegiatan produksi barang dilakukan menggunakan mesin-mesin pabrik canggih yang dapat memproduksi barang dalam jumlah yang banyak (massal). Proses kegiatan produksi semacam ini di sebut dengan industrialisasi.

Industrialisasi di satu sisi dapat memberikan keuntungan kepada konsumen, karena konsumen memiliki banyak pilihan terhadap barang yang akan ia beli. Namun di satu sisi juga dapat menyebabkan kerugian kepada konsumen. Produksi barang yang dibuat secara massal cenderung lebih mengedepankan kuantitas barang yang diproduksi daripada kualitas barang itu sendiri. Bagi konsumen yang kurang teredukasi sangat rentan dirugikan akibat beredarnya barang-barang yang memiliki kualitas rendah. Selanjutnya bagi konsumen kelas bawah dihadapkan pada pilihan terhadap barang-barang kualitas rendah, yang pada dasarnya merupakan barang cacat produksi yang dijual secara murah.

Kegiatan industrialisasi juga dapat menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat di mana para pelaku usaha saling berlomba-lomba untuk menguasai pasar. Untuk menarik konsumennya para pelaku usaha senantiasa memberikan penawaran yang murah kepada konsumen, yang pada akhirnya menurunkan kualitas barang agar dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Kondisi demikian pada akhirnya akan merugikan konsumen, di mana konsumen akan mendapatkan barang-barang yang berkualitas rendah.


3) Globalisasi dan perdagangan bebas

Globalisasi dan perdagangan bebas telah memperluas gerak distribusi barang dan/atau jasa. Pada awalnya distribusi barang dan/atau jasa hanya dapat dilaksanakan dalam suatu wilayah negara saja. Perkembangan saat ini menunjukkan bahwa distribusi barang dan/atau jasa tidak bisa dibendung di dalam pasar dalam negeri saja tetapi juga telah melewati batas-batas negara. Hal ini ditunjang dengan berkembangnya teknologi dan transportasi yang semakin mempermudah berbagai kegiatan ekonomi melewati batas-batas negara (Yusuf Sofie, 2009: 3-4).

Perdagangan bebas juga membawa konsekuensi bahwa semua barang dan/ atau jasa yang berasal dari negara lain harus dapat masuk ke negara lain. Masuknya barang-barang dari negara lain selain membawa keuntungan kepada konsumen terkait barang-barang impor, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi konsumen. Lemahnya pengawasan oleh pihak terkait acap kali menyebabkan barang-barang yang tidak layak atau mengandung bahan berbahaya masuk atau beredar ke negara tujuan. Beberapa kasus yang pernah terjadi antara lain kasus sapi gila, kasus kosmetik berbahaya, kasus barang pecah belah yang mengandung melamin, dll.

Komentar