Peran dalam Pewayangan

Seorang dalang, dalam karyanya akan menampilkan lakon/cerita dua peranan, yaitu peranan yang baik dan peranan yang jahat. Baik dan jahat ini selamanya tidak akan rukun, tidak akan bersatu, dan selalu konflik.

Dalang akan selalu menggarap konflik atau perselisihan antar keduanya dengan cara yang dramatis. Untuk itu ia akan memilih tokoh sebagai peran protagonis dan antagonis, untuk mempertajam konfliksitas bagi kedua peran itu. Sebelum berlanjut perlu dimengerti bahwa yang dimaksud dengan peran protagonis adalah tokoh peran yang dilanda krisis misalnya terancam, diburu, tersiksa yang kesemuanya ditimbulkan oleh si antagonis. Dengan demikian jelas bahwa antagonis adalah lawan protagonis. Antagonis yang mengancam, yang memburu, yang menyiksa si protagonis. Kedudukan si protagonis ialah sebagai pemeran utama dalam lakon. Segala peristiwa yang terjadi mengacu, mengarah dan berpusat kepadanya.

Di samping protagonis dan antagonis dapat diselipkan kelompok kekuatan ketiga yaitu tritagonis, yang dalam penokohan berperan dan berkedudukan sebagai penyebab utama atau pembangkit sengketa antara protagonis dan anatgonis. Kekuatan tritagonis juga memerangi masalah yang disengketakan kedua pihak, dan menjadi alat di tangan salah satu pihak yang bersengketa, yaitu sebagai penolong melepaskan protagonis dari ancaman si antagonis atau sebagai penengah, pendamai atau pelerai antara kedua belah pihak.

Dalam suatu lakon apabila ketiga peran itu sudah ada, nampaknya sudah lengkap dan sang dalang sudah bisa beraktifitas dengan baik. Namun dalam pendramaan setiap lakon atau bentuk penyajian baik padat, pethilan, atau singkat sering dibutuhkan tokoh peran deutragonis. Di pewayangan peran deutragonis diwujudkan sebagai dewa atau panakawan/cantrik yang berfungsi sebagai pendukung peran protagonis. Yang dimaksud pendukung adalah malayani, sebagai teman atau batur artinya pangembating catur yang selalu menuntun dan menunjukkan jalan yang benar. Juga sebagai pemberi nasihat untuk tidak melakukan kemarahan, senantiasa melakukan kesabaran, dan kesadaran. Dengan dimunculkannya peran deutragonis ini, maka akan sangat gampang sekali untuk melakukan kreatifitasnya dalam menyanggit dan mereka-reka sebuah lakon/cerita, agar apa yang tercipta dapat menarik dan mencapai sukses.

Sebagai penunjang keberhasilan dalam pentas tentunya Ki dalang tidak akan melupakan wanda wayang dan diharapkan mampu menjiwai setiap tokoh wayang dalam lakon yang disajikan. Namun perlu diketahui bahwa tidak selamanya tokoh-tokoh wayang itu protagonis atau antagonis, karena dapat berubah tergantung lakon yang disajikan. Sedangkan wanda wayang itu memperkuat karakter dalam adegan di lakon tertentu.

Di bawah ini data tokoh-tokoh terpilih yang berperan protagonis dalam lingkup lakon sengketa antar negara pada cerita wayang. Contoh negara yang bertikai mislanya, negara Pancawati dengan negara Alengka, yang dalam peperangannya merebutkan Dewi Sinta istri Rama.

Secara garis besar tokoh protagonis dalam cerita epos Ramayana adalah Sri Rama dari Pancawati yang juga bernama Raden Ragawa. Sedangkan yang juga termasuk tokoh utama yaitu Dewi Sinta dan Lasmana.

Di kisahkan bahwa Dewi sinta dalam cerita ini telah diculik oleh Rahwana raja dari negara Sri Langka atau negara Alengka. Penculikan tersebut sebagai penyebab/penyulut Perang Brubuh Alengka. Oleh karena Dewi Sinta juga menjadi tokoh senter maka di samping sebagai incaran, juga menjadi sebab timbulnya permasalahan bagi mereka yang bertikai yaitu antara negara Alengka melawan Pancawati. Sehingga dalam kisah tersebut Dewi Sinta pun bisa digolongkan sebagai peran protagonis.

Sri Rama pada saat masih muda dipanggil Raden Ragawa yang dilahirkan oleh Dewi Raghu. Sri Rama diangkat menjadi raja setelah acara pernikahannya dengan Dewi Sinta, namun penobatan tersebut diprotes oleh ibu tirinya yaitu Dewi Kekayi. Tujuan Dewi Kekayi memprotes yaitu agar yang menjadi raja di Ayodya Pancawati adalah anaknya yang bernama Barata. Dewi Kekayi akhirnya mengusir Rama dan Sinta agar pergi ke hutan Dhandhaka selama 12 tahun.

Sebagai satriya yang wajib dan harus berbakti kepada orang tua, maka Rama mengikuti apa yang dititahnya oleh Dewi Kekayi, akhirnya Rama mengajak istrinya pergi ke hutan. Kepergian Rama dan Sinta diikuti oleh Raden Lasmana, yang dilahirkan oleh Dewi Sumitra sebagai istri ketiga Prabu Dhasarata. Mereka bertiga berada di hutan Dhandhaka dan tidak akan pulang sebelum masa 12 tahun dihitung dari sejak pengusiran oleh Dewi Kekayi.

Raden Barata yang sudah diwisuda menjadi raja Ayodya akhirnya tidak sanggup menjalankan pemerintahan negara Ayodya. Hal tersebut dapat dilihat pada saat penobatan, karena dipaksakan, maka saat penobatannya, ketika duduk di atas singgasana kerajaan, kepalanya terasa pusing dan terjatuhlah Barata dari singgasana hingga pingsan. Setelah sadar Barata mencari kakaknya ke hutan untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada Sri Rama. Setelah sampai di hutan dan bertemu dengan Sri Rama, Barata mengutarakan
semua isi hatinya dan menyerahkan kembali tahta kepada Sri Rama. Namun Sri Rama tidak mau, menerima karena akan melanggar sumpahnya dan sebagai gantinya Sri Rama menyerahkan terompah kepada Barata. Akhirnya Barata kembali ke Ayodya dan mohon doa restu kepada Sri Rama dan dewi Sinta.

Sinta seorang putri cantik anak seorang raja dari negeri Manthili (Mithila) bernama Prabu Janaka. Sinta kemudian diperistri oleh Raden Rama dari negeri Ayodya. Seperti telah diketahui oleh para penggemar wayang, bahwa sebenarnya Sinta adalah anak Prabu Rahwana dari negeri Alengka. Ketika istri Rahwana yang bernama Dewi Tari sedang hamil, Rahwana berniat hendak bertapa. Maka Prabu Rahwana berpesan kepada adiknya yang bernama Wibisana, pesan tersebut berbunyi “besuk kalau istrinya melahirkan bayi putri maka anak tersebut akan diperistri sendiri, sebab bayi itu adalah jelmaan Batari Sri Widawati”. Batari Sri Widowati adalah bidadari yang sangat dicintai Rahwana. Tidak lama kemudian Dewi Tari melahirkan dan oleh Wibisana bayi yang baru lahir itu dibuang, sebab bayi tersebut ternyata putri. Setelah membuang bayi, Wibisana memanah mega, dan mega yang terkena panah akhirnya menjadi kesatriya yang gagah diberi nama Raden Megananda atau Begananda, di sebut juga Raden Indrajid. Sedangkan bayi perempuan yang sudah dibuang itu akhirnya ditemukan oleh Prabu Janaka raja Manthili dan diasuh serta dibesarkan hingga dewasa yang akhirnya menikah dengan Sri Rama.
Peran dalam Pewayangan

Pada saat menjalani pengusiran dan hidup di hutan bersama Sri Rama keadaan Dewi Sinta saat itu sedang sendirian, yang akhirnya diculik oleh Raja Rahwana dan bibawa ke negaranya di Alengka. Dalam perjalanan Rahwana sempat bertemu dengan burung Garuda yaitu Resi Jatayu sahabat Prabu Dasarata ayah Sri Rama dan Lasmana. Jatayu merebut Sinta dari tangan Rahwana. Akibat pertempuran melawan Rahwana akhirnya burung Garuda Jatayu mati di tangan Rahwana. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, Burung Jatayu sempat memberi tahu kepada Sri Rama dan Lasmana tentang keberadaan Sinta, bahwa Sinta telah di culik Rahwana.

Dalam lakon Ramayana, Lasmana termasuk kelompok protagonis. Tetapi secara individu dia termasuk peran tritagonis. Namun dalam Brubuh Alengka termasuk peran protagonis karena ikut menyelesaikan masalah membantu sang Rama si protagonis.

Ketika sang Rama memburu Kidang Kencana, Lasmanalah yang menjaga Dewi Sinta di tengah hutan Dhandhaka. Dewi Sinta sempat curiga terhadap Lasmana, sebab tak mau disuruh untuk mencari Sri Rama yang telah lama belum kembali. Untuk menunjukan bahwa dirinya tidak bermaksud apa-apa terhadap Dewi Sinta dan menunjukan rasa setianya kepada kakaknya yaitu sang Rama, maka Lasmana memotong penisnya (planangannya) dan seketika itu juga planangannya terbang ke angkasa dan berada di langit. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, penis tersebut menjadi benda bersinar disebut cleret tahun sebagai tanda akan ada angin kencang berputar dan hujan deras.

Setelah memotong kemaluannya, Raden Lasmana pergi dari hadapan Sinta untuk melaksanakan perintah mencari Sang Rama. Namun sebelum pergi Lasmana telah menggoreskan kerisnya di tanah untuk membuat lingkaran Rajah Kala Cakra sebagai benteng keselamatan Dewi Sinta.

Dalam kitab Ramayana juga menceritakan mengenai Raden Hanuman atau Anoman. Anoman adalah manusia kera yang berbulu putih seperti kapas. Ia anak Bathara Guru dengan Dewi Anjani, seorang perempuan yang bermuka dan bertangan kera. Raden Hanuman (Hanuman=hanu-man) dalam cerita Ramayana, membantu Sri Rama hingga selesai, karena dia sebagai pembela yang benar. Anoman memang kera sakti, tak ada yang bisa mengalahkannya kecuali hanya Sang Benar. Tak ada wangsa Wisrawa yang mampu melawan Anoman. Sejak Anoman-duta sampai brubuh Alengka hingga Sinta kembali (Boyong), sang peran protagonis Anoman tidak pernah ketinggalan dari aktifitas peperangan membela Rama hingga selesai.

Di saat istirahat, Anoman berada di dekat Sri Rama. Tidak lama kemudian Sri Rama bertanya kepada Anoman, ”Anoman, besar sekali baktimu terhadapku, untuk itu aku akan memberi ganjaran kepadamu berupa gelar yaitu Bintang Senapati Agung. Besok akan saya sematkan pada bajumu. Namun aku akan merasa puas apabila pada ganjaran ke-2 ini yang meminta kamu sendiri melalui ucapanmu. Silakan Anoman!”

Dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Sri Rama itu, dalam hati Anoman malah kebingungan dan berkata, “ini kan sudah kewajiban prajurit kewajiban senapati. Tetapi mengapa aku harus menerima ganjaran yang sehebat itu,” demikian kata hati Anoman. Tetapi karena desakan Sri Rama, maka Anoman menjawab ”Aduh gusti prabu, sangat besar anugerahmu, terima kasih sekali, karena anugerah ke-2 atas kehendak gusti prabu, maka hamba hanya minta umur panjang.” Jawab Sri Rama ”selama namaku masih disebut di dunia ini, maka kamu pasti masih hidup.” Hal tersebut dilakukan Sri Rama karena mengingat akan jasa-jasa Anoman ketika melawan Rahwana si penculik Sinta.

Rahwana adalah raja dari kerajaan Alengka yang disebut juga kerajaan Ngalengka. Rahwana memiliki kekuatan dan kesaktian yang sangat hebat. Dia mempunyai aji Pancasona, yang membuatnya tak bisa mati.

Sejak dewasa Rahwana diberi ganjaran oleh dewa yaitu seorang istri yang bernama Dewi Tari. Namun sebelum menerima ganjaran, Rahwana pernah bertemu bidadari yang bernama Batari Sri Widawati. Menurutnya bidadari yang satu ini kecantikannya tidak ada yang menyamai apalagi melebihinya. Maka kehendak sang Rahwana, kapanpun, di manapun, menjelma pada siapa pun akan tetap dikejarnya. Dalam cerita Ramayana, Sri Widawati menjelma pada putri Manthili bernama Dewi Sinta. Itulah sebabnya Rahwana ingin memperistri Dewi Sinta. Rahwana atau Dasamuka ini sudah berhasil menculiknya, dan sekarang berada di taman Pamardi-suka atau taman Arga-soka. Sejak itulah negara Alengka dilanda kejadian yang tidak menyenangkan. Sering muncul kejadian aneh yang menyengsarakan masyarakat Alengka. Adik-adiknya seperti Raden Kumbakarna, Raden Wibisana sering mengingatkan, agar Sinta dikembalikan pada Rama. Namun nasehat tersebut tak pernah diindahkannya, malahan adik-adiknya dimarahinya hingga Wibisana di usir dari Ngalengka. Raden Kumbakarna adalah adik prabu Dasamuka, saudara seayah seibu. Dia dilahirkan dari rahim Dewi Sukesi. Ayahnya seorang pendeta ampuh bernama Resi Wisrawa.

Sejak dari dirinya sendiri kemudian adiknya yang bernama Kumbakarna dan adik ketiganya yang seorang perempuan bernama Sarpakenaka berwujud raksasa. Ketiga-tiganya termasuk golongan peran antagonis. Sedangkan adiknya yang bungsu bernaman Raden Wibisana adalah manusia seutuhnya dan bagus rupanya. Wibisana mempunyai watak pendeta, tidak mau menyusahkan orang lain. Maka dalam penokohan di bidang peran, dia tidak termasuk peran antagonis. Dia sangat hormat terhadap orang tua termasuk kakak-kakaknya, khususnya kepada Kumbakarna yang gemar bertapa.

Kumbakarna adalah saudara Rahwana yang nomer dua. Kumbakarna merupakan seorang raksasa yang besar dan tinggi. Karena sangat besar dan tinggi sampai diibaratkan sebesar anak gunung (sagunung anakan) artinya setinggi dan sebesar anak gunung.

Raden Kumbakarna suka makan, sampai ia dipakai sebagai lambang nafsu aluamah. Dalam pertempuran melawan Sri Rama, dia bilang bukan membela Rahwana kakaknya tetapi bela tanah tumpah darah. Dalam peperangan melawan Sri Rama, Kumbakarna mati secara sadis. Kedua tangan dan kedua kakinya putus satu per satu hingga tinggal kepalanya. Kepala itu akhirnya mati terkena panah Guwawijaya.

Sarpakenaka di dalam Kawi Kuna-nya berbunyi Çurpanaka artinya orang berkuku tajam beracun/upas. Ketika Sri Rama membendung (nambak) Samodra, Sarpakenaka inilah yang membedah tambak itu hanya dengan kukunya saja.

Sarpakenaka termasuk golongan peran antagonis karena dalam pertempuran brubuh Alengka, Sarpakenaka membela Rahwana. Dia membenarkan perilaku sang kakak parabu Rahwana yang sangat antagonis itu. Rahwana adalah seorang lelaki yang berkedudukan sebagai orang nomer satu di Ngalengka, maka tidak salah bila hendak memperistri Dewi Sinta. Sinta kan perempuan, juga, begitu pikiran Sarpakenaka.

Setelah bertemu dengan Lasmana di hutan Dandhaka, , Sarpakenaka sangat mengharapkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Keinginan tersebut sudah menyatu dalam kehidupannya. Akan tetapi jelas Lasmana tidak mau, sebab kecuali Sarpakenaka sebagai musuh, dia juga berwajah raksasa. Dia adalah Raseksi (buta
wedok) yang dalam kehidupan manusi/masyarakat Jawa melambangkan nafsu supiyah, watak yang suka bersolek, berganti-ganti busana, suka pesta pora, makan minum semaunya. Sedangkan Rawana sebagai lambang watak amarah dan Raden Wibisana sebagai lambang watak yang suci, jujur, tidak ingin memiliki yang bukan miliknya, watak tersebut disebut watak yang mutmainah. Itulah saudara-saudara Sarpakenaka yang dijadikan sebagai lambang nafsu 4 macam di antaranya adalah nafsu amarah yaitu Dasamuka, aluamah yaitu Kumbakarna, supiyah yaitu Sarpakenaka, dan mutmainah yaitu Wibisana.

Peristiwa yang pernah menimpa Sarpakenaka adalah pada saat menggoda dan merayu Lasmana di hutan Dandhaka. Dikisahkan bahwa Sarpakenaka tergila-gia akan ketampanan Lasmana, dan amat sangat menginginkan agar Lasmana mau menjadi suaminya. Akan tetapi Lasmana tidak menghiraukan rayuan Sarpakenaka. Begitu pula Sarpakenaka tidak berhenti marayu Lasmana, hingga akhirnya Lasmana merasa jengkel dan marah. Hidung Sarpakenaka dipegang sangat keras kemudian dipelintir oleh Lasmana sampai gruwung (berlubang hampir putus). Peristiwa tersebut oleh Sarpakenaka dilaporkan ke Rahwana dengan membalikan fakta. Rahwana sangat marah yang akhirnya merembet hingga mengakibatkan timbulnya perang besar yang disebut perang Brubuh Alengka.

Meskipun saudara-saudaranya berwujud raksasa, akan tetapi Wibisana adalah bagus rupa. Dia senang mencari kebenaran (dheweke tansah angupadi dalan kang bener lan jatining kayekten). Sampai dia lari dari kakaknya Rahwana yang jahat itu dan ikut mengabdi pada Sri Rama melalui Hanuman. Ini artinya Wibisana akan menjadi jalan si protagonis Sri Rama.

Dengan demikian Wibisana bukanlah peran antagonis dan juga protagonis. Dalam lakon perang Brubuh Alengka sampai habisnya bangsa Alengka, Wibisana sebagai tritagonis. Namun kalau menurut pakem wayang Jawatimuran lain lagi. Kepergian Wibisana dari hadapan Rahwana karena kedua matanya dibutakan oleh Rahwana sendiri. Kedua mata Wibisana ditusuk dengan Candrasa hingga berdarah dan buta. Kedua kaki Wibisana di pukul (digebug) dengan senjata limpung dan berakibat lumpuh tak berdaya. Peristiwa tersebut menimpa Wibisana, karena menyuruh kakaknya agar mengembalikan Sinta kepada Sri Rama. Atas kejadian itulah sehingga Wibisana disebut peran protagonis. Dengan pertolongan Hanuman yang baru saja membakar habis ALengka, Wibisanan dibawa menghadap Sri Rama. Setelah berada di hadapan Sri Rama disembuhkan oleh Sri Rama dan mengabdilah kepada Rama. Seusai Brubuh, dia diangkat sebagai raja Alengka.
Dalam kitab Mahabharata Pandawa adalah 5 orang bersaudara, jenis kelamin laki-laki semua. Mereka adalah anak sang prabu Pandhu yang menikah dengan Dewi Kunthi dan mempunyai tiga putra yaitu Puntadewa, Wrekodara dan Arjuna. Sedangkan pernikahan Pandhu dengan Dewi Madrim mempunyai putra dua. yaitu Nakula dan Sadewa. Pandawa disebut juga Pandhu-hawa atinya Hawanya Pandhu laki-laki semua dan digolongkan manusia sukerta yang termasuk menjadi mangsanya sang Kala. Sebagai bukti manusia sukerta, bahwa hampir setiap waktu mereka diancam, akan dibunuh, dicelakakan, disengsarakan oleh saudara-saudaranya yaitu para Kurawa. Jumlah Kurawa yaitu seratus orang dan dibawah asuhan pamannya yang berpangkat patih, yaitu Raden Patih Harya Sangkuni. Melihat posisi para Pandawa yang selalu dilanda krisis, dengan pelaku utama para Kurawa, maka jelaslah ketika Pandawa harus tersangkut peristiwa perang besar Bharatayuda, mereka berada pada posisi sebagai tokoh-tokoh yang menjadi peran protagonis.

Salah satu uasaha Kurawa untuk membunuh para Pandawa yaitu dalam cerita Bale Sigala-gala. Dikisahkan, para Pandawa juga diasingkan dalam hutan Kanyaka oleh Kurawa selama 12 tahun dengan perjanjian ditambah satu tahun dalam persembunyian. Apabila dalam persembunyian nya selama satu tahun itu diketahui oleh Kurawa maka Pandawa harus kembali ke hutan 12 tahun dan menyelinap satu tahun. Hal ini sangat dirasakan oleh Pandawa yang protagonis itu. Mereka selalu berada dalam posisi sengsara, namun oleh Pandawa sengsara itu digunakan sebagai laku prihatin. Dalam kesengsaraannya mereka harus tetap memberikan pertolongan kepada siapapun dengan dasar cinta kasih (Asih-tresna) yang tanpa pamrih. Hebatnya lagi, atas pimpinan Puntadewa si Getih Putih (darah putih) Pandawa tak boleh sakit hati hingga timbul dendam kesumat.

Di bawah asuhan Raden Patih Harya Sengkuni, Kurawa yang berjumlah seratus itu ternyata berperilaku sangat rusak dan selalu menyusahkan orang lain. Mereka suka mabuk-mabukan, berjudi, madat, dan merasa bahwa dimanja oleh ibu-ayah-paman dan gurunya. Maka dalam kehidupannya, mereka berperilaku semaunya sendiri karena merasa dirinya saudaranya raja. Sang Prabu Duryudana adalah sebagai penguasa dan dalam tata urutan adalah saudara yang paling tua. Prabu Duryudana selalu membiarkan para adiknya untuk bertindak nakal dan urakan.

Sebagai sumber pemikiran jahatnya para Kurawa adalah Sengkuni, yang selalu merekayasa agar para Kurawa mencelakakan Pandawa. Sengkuni berharap agar Pandawa celaka, tersiksa sampai mati. Apapun caranya Sengkuni berusaha keras agar Pandawa lenyap dari dunia ini dengan dalih untuk membuat para Kurawa menemukan kemuliaan, kesejahteraan dan keselamatan. Harapan Kurawa yaitu agar Pandawa hancur lebur, dengan begitu Kurawa bebas untuk menguasai Kerajaan Astina.

Usaha licik yang dilakukan Kurawa terhadap Pandawa di antaranya adalah mengajak main dadu, membakar bale sigala-gala. Usaha tersebut merupakan cara paling dahsyat dan paling kejam bagi hancurnya para Pandawa. Banyak sekali cara yang dilakukan oleh Sengkuni demi celaka dan sengsaranya Pandawa. Sejak
Pandawa dan Kurawa masih anak-anak sampai Duryudana diangkat sebagai raja di negara Astina, tanpa henti-hentinya rekayasa jahat yang dilakukan oleh Sengkuni.

Di sini peran antagonis Kurawa agak khawatir, sebab usaha rekayasa licik dan jahatnya tidak berhasil. Ternyata Pandawa tidak mati justru masih hidup dan segar bugar. Akhirnya tidak ada jalan lain, kecuali perang, yaitu perang Bharatayuda. Dalam perang besar Bharatayuda, Kurawa habis. Sengkuni, Duryudana, Drona, Dursasana dan yang lain mati secara menyedihkan. Sedangkan Pandawa lima masih utuh, hanya para
putra-putra dan para istri yang mati terhormat.

Seperti telah dijelaskan di halaman depan, peran tritagonis merupakan pihak ketiga yang ikut aktif dalam konflik. Bisa juga keterkaitan peran tritagonis dalam suatu konflik hanya pada klimaksnya saja. Karena peran serta kedudukan tritagonis ini cukup beragam, maka seorang tokoh bisa berperan ganda, misalnya Patih Sengkuni, yang berperan sebagai pengancam siksa, ia bisa berkedudukan sebagai peran tritagonis.

Prabu Sri Bathara Kresna sering melerai para Pandawa yang sedang konflik dengan Kurawa, di mana dia adalah peran tritagonis. Siapapun tokoh, apabila dia melerai, memerangi persengketaan menjadi alat, penolong, penengah itulah dia si tritagonis. Bisa saja pendeta, brahmana atau yang lainnya.

Tokoh-tokoh yang tergolong peran deutragonis dalam suatu lakon biasanya berfungsi sebagai pendukung serta melengkapi perjanjian yang tentu akan memperjelas permasalahan dalam pendramaan. Dalam suatu lakon dia akan menjadi sarana logis bagi para penggemar sehingga memuaskan. Di samping itu si deutragonis dalam peranannya akan selalu memberikan petunjuk-petunjuk, wawasan mengarah pada pemberian kekuatan fisik, kebenaran laku serta wejangan kesabaran.

Adapun tokoh-tokoh yang deutragonis di antaranya adalah: pendeta, para brahmana, para wasu, para dewa, para panakawan dan para ibu khususnya Dewi Kunthi. Jadi peran deutagonis dapat disimpulkan bahwa ia berkedudukan sebagai pendukung-pelengkap lakon yang memperjelas masalah, sarana logika cerita, dan penasehat. Demikianlah peran deutragonis yang setiap penampilan lakon khususnya panakawan, sering tidak harus tersajikan. Sedangkan para panakawan dalam penokohan ini berkedudukan sebagai deutragonis, menasehati, melayani, menunjukkan jalan keselamatan menuju hidup abadi. Peran deutragonis yang lainnya seperti Batara Guru, Batara Wisnu, Batara Brahma, Bhagawan Bisma dan lainlainnya.

Komentar