Raksasa dalam Pewayangan

Raksasa dalam pewayangan sering disebut buta, denawa, atau ditya. Para raksasa termasuk golongan Asura. Sebutan Asura artinya bukan dewa. A-artinya bukan, sura artinya dewa. Sebutan denawa itu keturunan Dewi Danu atau Danunawa, sedangkan ditya atau buta adalah keturunan Dewi Diti (ditya).

Jadi raksasa yang raut mukanya tidak seperti manusia pada umumnya, dalam dunia pewayangan Jawa sering dikatakan bukan manusia. Denawa bentuk raut mukanya tidak berbeda dengan raksasa, maka denawa disebut raksasa (buta). Demikian juga ditya, sebagai keturunan dari Dewi Diti, disebut ditya. Wujud tokoh-tokoh keturunan Dewi Diti sama dengan golongan raksasa, maka mereka para ditya juga disebut raksasa. Jadi sampai sekarang kata raksasa menjadi dasanama (sinonim) dari kata denawa, ditya, buta.

Jika melihat gambarnya, maka ciri-ciri golongan raksasa itu sangat jelas. Tentu ciri yang paling nampak bahwa raksasa itu buruk rupa. Sedangkan ciri-ciri yang lain adalah raut muka serba menakutkan, hidungnya besar seperti lengkung tepi perahu (canthiking baita), mata bulat besar, mulut lebar, gigi besar, punya taring panjang, rambut kumpul (gimbal), bulu rambut tangan dan kaki panjang lebat (dhiwut), simbar teba, dan ciri yang tidak bisa diraba tetapi pasti bahwa raksasa itu jahat.

Ada beberapa golongan raksasa, ialah raksasa raja bermahkota (Buta Raton Makutha), raksasa raja muda (pogog rambut gimbal), raksasa patih, raksasa prepat/prajurit, raksasa perempuan, raksasa gecul, dan raksasa berhala. Golongan raksasa-raksasa tersebut mempunyai kedudukan yang tidak sama.

Raksasa Raja Bermahkota ini tidak diberi nama. Dalam pewayangan disebut wayang serbaguna (srambahan). Apabila akan diperankan dan menduduki sebuah negara maka nama negara tersebut terserah kepada Ki dalang.

Selain raksasa raja bermahkota ada raksasa raja muda. Setiap penampilannya sebagai raja, pasti peran raja yang masih muda. Dia selalu menginginkan wanita cantik. Dia pasti jatuh cinta (gandrung) dan tak akan kesampaian. Bahkan dalam ceritanya sering diakhiri dengan kematian. Tokoh wayang ini juga dipakai wayang srambahan. Nama dan kerajaan tokoh ini terserah sang dalang. Tokoh wayang ini sering dipakai sebagai Patih Sengkapura yang bernama Patih Suratimantra.
Raksasa dalam Pewayangan

Raksasa patih biasanya dua tangan bercempurit kepala memakai makutha topong. Tokoh ini biasanya dipakai sebagai patih di negara Alengka bernama Patih Prahastha. Juga dipakai sebagai patihnya Prabu Bhoma Narakasura di kerajaan Trajutrisna bernama Patih Pancatnyana. Tetapi sering disrambahkan oleh dalangnya. Raksasa Prepat adalah raksasa yang berpangkat tinggi dan merupakan punggawa terkemuka di kerajaan raksasa. Tokoh wayangnya juga srambahan. Tokoh wayang ini bisa ditampilkan dalam semua lakon, hanya terserah sang dalang saja. Siapapun namanya dari kerajaan manapun asalnya, itu terserah Ki dalang. Raksasa prepat ini sering difungsikan sebagai penjaga hutan atas perintah raja. Ia tidak sendirian berada di dalam hutan. Ia ditemani tiga orang raksasa gecul beserta dua orang panakawan Togog dan Bilung (saraita). Tokoh raksasa prepat itu ada yang menamakan Pragalba yang artinya harimau.

Tidak semua raksasa dengan jenis kelamin laki-laki, akan tetapi ada pula yang jenis kelamin perempuan. Tokoh ini dinamai Kenya-wandu (banci). Ia menjadi pimpinan bagi semua raksasa kerajaan. Ia juga sebagai inang pengasuh raja. Dalam cerita apapun ia sebagai patih, sering diberi nama Cantikawerti, dan ada yang memberi nama Kepet Mega. Dia merupakan prajurit yang sakti, tetapi akhirnya mati di medan pertempuran.

Sedangkan Raksasa Gecul adalah jenis raksasa tetapi wujudnya lucu (gecul). Tokoh ini ikut berjaga di hutan. Dia termasuk golongan raksasa prepat (parepat). Dalam lakon raksasa gecul yang tergolong prepat hanya sebagai kembangan saja. Jadi dalam sajian lakon tidak begitu berfungsi. Ia itu ialah raksasa cakil dan buta terong. Disebut buta cakil karena bertaring di ujung mulut bagian depan seperti pasak (nyakil). Sedangkan buta terong sama saja dengan buta cakil, dalam lakon tidak begitu penting. Disebut buta terong sebab hidung besar bagaikan buah terong. Karena tugas yang diemban dengan dalih menjaga hutan, tentu kepada setiap yang lewat itu pasti dicurigai. Terjadilah perang fisik, semua buta itu mati kecuali Togog dan Bilung.

Untuk tokoh-tokoh tertentu yang bisa berubah wujudnya menjadi raksasa (triwikrama), maka raksasa jadi-jadian tersebut di beri nama Raksasa Berhala (Brahala). Contoh Kresna menjadi Kala Mertiu, Prabu Sri Harjuna Sasrabahu kalau sedang marah, triwikrama menjadi Raksasa Bala Serewu.

Adapun tokoh panakawan atau yang disebut abdi pengikut (pendherek) adalah abdi yang selalu mengikuti tuannya. Dia memang biasa disuruh (dikongkon) tetapi bukan pesuruh. Dia abdi tetapi juga sebagai teman (batur artinya pangembat catur), memberikan petuah, memberikan semangat bagi sang bendara (tuan).

Ki dalang Bambang Sugiyo dari Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur dalam pentas versi Jawatimuran mengatakan bahwa Panakawan, terdiri dari dua kata pana dan kawan. Pana berarti ngerti, kawan berarti teman. Jadi makna panakawan adalah teman yang selalu memberikan pengertian, artinya ia selalu memberikan petunjuk hidup, memberikan nasehat demi keselamatan sang juragan.

Di manapun ia berada, panakawan ini selalu menyatakan sebuah karakter laku perbuatan setia kepada sang juragan. Kesetiaan itu dinyatakan dalam membela, melayani dan membentengi setiap gerak-gerik sang bendara. Tetapi ia juga menasehati dan rela mengorbankan diri bagi keselamatan sang juragan. Dalam dunia pewayangan, di setiap negara memerlukan panakawan. Di masa-masa dulu panakawan hanya terdiri dari dua orang. Misalnya dalam wayang gedhog panji yaitu Jerodeh dan Prasanta, orang Jawa mengatakan Godheg-Santa. Pada wayang Krucil yaitu Sabdapalon dan Nayagenggong. Dalam wayang Jawatimuran yaitu Semar dan Bagong. Panakawan sabrang Jawatimuran yaitu Mujeni dan Mundhu.

Dalam wayang purwa (Solo/Yogya) ada 4 tokoh yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang paling muda. Dalam wayang purwa (Banyumasan) ada 4 tokoh yaitu Semar, Bagong, Gareng, Petruk yang paling muda. Di wayang golek Pasundan ada 4 tokoh yaitu Semar, Cepot, Udel dan Dawala. Panakawan di negeri sabrang pakeliran Solo/Yogya ada 2 saja yaitu Togog dan Bilung.

Bagi pakeliran Jawatimuran yang berlaku sampai sekarang ini pada adegan gara-gara panakawannya ada 3 tokoh yaitu Semar, Bagong dan Besut. Namun begitu gara-gara selesai, hanya Semar-Bagong saja yang ikut dalam karya mengikuti sang bendara. Sedangkan Besut disuruh Semar menunggu di rumah Klampis Ireng.

Adapun cerita atau riwayat kelahiran atau terjadinya Bagong gaya Jawatimuran adalah ketika Sang Hyang Ismaya turun ke bumi menjelma menjadi Semar orang jelek rupa, untuk mengasuh para satriya petapabrata (tedak kasutapan), dia lalu diberi sebutan pamong (momong). Dalam karya-karya selanjutnya Semar membutuhkan teman. Bayang-bayangnya sendiri lalu dicipta menjadi bentuk yang hampir mirip dengannya. Kemudian dinamakan Bagong. Ba artinya bek, gong artinya gedhe. Juga dinamakan Sang Hyang Blado. Bla adalah belah/sigar, dho artinya loro. Bahwa Bagong terjadi dari belahannya orang dua. Juga bernama Mangun Hadiwangsa, karena dia yang mempunyai kewajiban untuk membangun (mangun) agar wangsa (bangsa) menjadi baik atau adi. Nama lainnya Jamblaita. Jambla yang berarti bodoh, ita adalah temen (jujur). Ia bodoh tetapi jujur dan serius.

Sedangkan timbulnya Besut belum lama. Ketika Bagong ke belakang dalam kondisi yang gelap, dia menginjak tinjanya sendiri lalu dikipat-kipatkan. Tiga kipatan menjadi 3 orang, dinamakan Besut, Besel dan Besil, ketiganya menjadi anak Bagong. Yang dipakai sekarang ini hanya Besutnya saja. Tokoh wayang Besut bentuknya mirip Bagong tetapi dalam ukuran lebih kecil.

Ada lagi semacam panakawan tetapi perempuan (emban) ialah Cangik dan Limbuk. Tokoh Cangik dan Limbuk pada masa sebelum campur sari difungsikan sebagai pelayan permaisuri raja. Sekarang fungsi itu menipis, tertutup dengan guyon campur sari.

Komentar