Suluk Wayang

Sebelum uraian sastra suluk ini berlanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang apa itu suluk. Seperti telah diketahui bersama bahwa suluk ini adalah tembang yang dilagukan oleh seorang dalang ketika menceritakan sebuah lakon wayang. Apalagi cara melagukan terungkap melalui alunan suara dalang yang indah. Tentu hal ini menambah kewibawaan dan kualitas sang dalang itu sendiri. Jadi suluk itu indah. Lebih-lebih lagu suluk itu bersamaan dengan ucapan-ucapan kalimat yang bergaya bahasa Jawa luhur atau tinggi (lungit) dan bermakna. Kalimat-kalimat yang lungit, indah dan bermakna di dalam suluk, itu disebut sastra suluk.

Kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh
Sastra yang berada di dalam suluk dalang sebagian besar berasal dari Kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Kediri) tahun 1157 (Soeroso, Gamelan A, 1983 hal 17). Dan di antaranya ada yang berasal dari epos Ramayana karya Walmiki. Kakawin berupa susunan kalimat berbahasa Kawi (Jawa Kuna), setiap seloka (saloka atau sloka) terjadi dari empat baris. Dalam kesusastraan Jawa menjadi bentuk tembang Gedhe/Ageng atau sering juga disebut Sekar Ageng.

Menurut para ahli tembang tradisional dan secara structural, Sekar Ageng merupakan urut-urutan yang berada pada tempat paling atas dari 3 bentuk tembang Jawa. Sedangkan urutan kedua adalah Tembang Tengahan atau Sekar Tengahan yang terbentuk dengan menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Tempat ketiga yaitu Tembang Cilik atau biasa disebut Tembang Macapat yaitu tembang
yang dalam aktifitasnya terbentuk dengan menggunakan bahasanya rakyat kecil (kawula cilik). Tembang Macapat ini hidup dan berkembang di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya berada di pedesaan.

Dalam perkembangan selanjutnya, susunan kalimat 4 baris dalam Tembang Gedhe tadi tersusun dengan urutan sebagai berikut setiap baris dinyatakan sebagai satu pada-pala (satu baris), dua pada-pala (dua baris) dinyatakan sebagai satu pada-dirga, dua pada-dirga (empat baris kalimat) dinyatakan satu padeswara. Kata padeswara berasal dari kata pada dan iswara. Pada berarti larikan (baris) dan iswara berarti raja dan identik dengan besar, jadi padeswara adalah pada besar. Kakawin ini juga berpatokan pada lampah (jumlah suku kata setiap baris) dan juga Guru - lagu (dhong-dhing).

Dhong menyatakan suara berat (anteb) sebagai suatu pernyataan rasa puas yaitu perasaan akhir, tanda akan dimulainya babak baru. Dhing menyatakan suara ringan (ampang atau entheng) sebagai suatu pernyataan rasa yang belum selesai (rampung). Dalam hal ini perasaan belum (tidak) lega, masih menanyakan kelanjutannya. Guru maupun Lagu bukan hanya pada akhir kalimat, tetapi juga berada di tengah-tengah kalimat dan pada awal kalimat. Guru dan Lagu dalam aturan bahasa Kawi merupakan sarana terbentuknya kakawin. Sampai saat ini tidak ada seorang pun seniman dan Budayawan Jawa yang berminat dan mampu untuk mencipta atau mengarang kakawin lagi. Generasi sekarang ini hanya menerima peninggalan saja.

Itulah sebabnya sastra kakawin yang tertulis dalam ÇlokaÇloka Mahabharata, Ramayana, Bharatayuda atau yang lainnya diambil sebagai sumber penulisan sastra suluk dalam karya tulis ini. Inilah sastra suluk yang berupa Kakawin Bharatayuda:

Lêng- lêng řamnya nikang çaçangka kumênar mangrêngga rūm ning puri Mangkin tan pasiring halêp nikang umah mās luwir murub ing langit Têkwan sarwwa manik tawingnya sinawung sāksāt sêkar ning suji Unggwan Bhānuwatï yanāmrêm alangö mwang nātha Duryyodhana.

Kalimat-kalimat kakawin di atas, disebut tembang Sardulawikridita, artinya permainan harimau (L.Mardisuwito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, tt. 563). Terjemahan Tembang Sardulawikridita itu adalah:

Indah menarik hati, bulan yang bersinar menghiasi puri kedaton, menjadikan semakin tidak ada yang menyamai keindahan rumah emas, bagaikan menyala-nyala di atas langit, lebih-lebih tebing yang dilapisi dengan mas manikam yang berwarna-warni bagaikan rangkaian bunga indah, di tempat itulah bila sang Dewi Banuwati sedang memadu kasih bersama suami Sang Prabu Duryuddana.
Kakawin ini setelah dipakai oleh para dalang wayang sebagai sulukan, ternyata mengalami penggeseran ucap dan pemenggalan kata. Hal ini mungkin sekali akan bisa mengakibatkan perubahan arti atau bahkan pengertiannya. Demikian inilah kalimat itu sekarang:

Lengleng ramnyaningkang, sasangka kumenyar O.. Mangrengga ruming puri, O.. mangkin tanpa Siring, halep ningkang ngumah, mas lir murub ing langit, O.. tekyan sarwa manik O.. .

Sampai di sini kalimat itu diputus, kemudian diteruskan dengan permainan gender (ompak-gender) sesaat, baru kemudian diteruskan:

tawingnya sinawung, O.. , O.. saksat sekar si Nuji, unggwan Banowati, O.. yen amrema la-Ngen, lan Nata Duryudana O.. Lan Nata Dur-Yudana, O.. .

Terlihat sekilas kalimat itu seolah-olah tidak mengalami perubahan makna. Andaikan berubah, hanya ucapannya saja. Hal ini terjadi karena yang semula dari bahasa Jawa Kawi, kemudian dibawa kepada ucapan bahasa Jawa Baru, di saat seni pertunjukkan wayang kulit purwa menjadi garap kemasan baru, khususnya yang gagrag Surakarta.

Dalam peristiwa demikian itu sering muncul suatu kekhawatiran bagi sebagian seniman atau Budayawan. Namun perlu mengingat terhadap hukum alam, bahwa kehidupan seni dan Budaya dari jaman ke jaman, generasi ke generasi pasti mengalami perubahan. Jika berpaling pada kondisi alami tersebut, maka perubahan seperti yang ada pada Kakawin Sardulawikridita adalah sangat wajar. Justru perubahan yang demikian itulah yang membuahkan hasil pengayaan bagi seni dan Budaya dalam perkembangannya. Yang penting sampai sekarang ini, generasi mudanya masih memiliki catatan sejarah dari para pendahulunya. Biarkan sastra yang diambil dalam seni pertunjukkan wayang purwa ini berkembang menurut jamannya (anut jaman kelakon).

Dalam perubahan dan perkembangannya, tembang Sardulawikridita setelah bersama-sama dengan seni pertunjukkan wayang kulit purwa, berfungsi sebagai sulukan pengiring jejer I dalam laras Slendro dalam waktu masih pathet Nem. Sehingga kakawin itu berubah sebutan menjadi pathetan Nem Ageng, yang dalam gema lagunya diiringi oleh instrument rebab, gender barung, gambang, suling, kempul-gong dengan permainan menurut aturan tata nada dalam pathet Nem.

Selanjutnya sebagai catatan kata-kata yang dipakai dalam Kakawin Sardulawikridita tadi perlu diterjemahkan. Di bawah ini terjemahan dari S. Padmosoekotjo dalam bukunya Suluk Pedalangan, hal 14-15:

Lêng- lêng tegesipun anglam-lami,
Řamnya tegesipun endah, nengsemake,
Çaçangka tegesipun rembulan,
Kumênar tegesipun sumorot, sumunar,
Mangrêngga rūm ning puri tegesipun ngrengga endahaning puri (keputren),
Mangkin tan pasiring,
Halêp nikang umah mās tegesipun endahe suyasa kencana,
Luwir murub ing langi tegesipu pepindhane kaya murub ing langit,
Têkwan tegesipun sarta, lan maneh, apa maneh,
Sarwa manik tegesipun sesotya manek warni,
Tawing artinya tebing, srawing tegesipun aling-aling,
Sinawung tegesipun dipun-salut, linapis,
Suji tegesipun eri, sunduk,
Sāksāt sêkar ning suji tegesipun pepindhane kados reroncening sekar, kados sekar renonce,
Unggwan Bhānuwatï tegesipun papan padununganipun banuwati,
Yan āmrêm alangö mwang Duryyodana tegesipun manawi sari alelangen (sih-sinihan) kaliyan Prabu Duryyodana,
Langö endah tegesipun kaendahan, klangenan,
Alango tegesipun lelangen (sih-sinihan.)

Terjemahan:
menyebabkan orang terpesona,
indah, menawan hati,
bulan,
bersinar,
menghias indahnya keputrian atau tempat putri,
saya tanpa tandhing (semakin tidak ada yang sama), keindahan kerajaan emas,
bagaikan menyala di langit,
serta, lagi-lagi, apa lagi,
segala macam manikam,
tirai, tabir,
diberi lapisan,
(duri, tusuk). Juga biasa berarti renda, sulam,
bagaikan untaian bunga,
tempat tinggal Banuwati,
bila (akan) tidur berkasih-kasihan bersama suami yaitu Prabu
Duryyodana,
indah, keindahan, kesukaan,
bersuka cita, berkasih-kasihan.

Sebagai urutan suluk yang kedua dalam pertunjukkan wayang adalah disebut Ada-ada Girisa dalam laras Slendro yang masih berada dalam kawasan waktu pathet Nem. Demikianlah kalimat Ada-ada Girisa:
Lengleng gatiningkang awan saba-saba
Niking Ngastina, samankara tekeng,
Tegak Kurunararya, Kanwa Janaka dulur Nara-
Da, kapanggih ing ika, O.. tegal miluring karya, sang Bupati
ta la ya.

Itulah ada-ada Girisa, di mana kalimat-kalimatnya mengambil dari petikan Bharatayuda. Sedangkan yang asli dalam bahasa Jawa Kuna adalah sebagai berikut:

Lêngêng gati nikang hawan sabha-shaba niking
Hāstina,
samantara têkeng têgal Kuru
narāryya Kŗşņān laku, sirang Paraçurama, Kaņwa Janakādulur
Narada, kapanggih irikang têgal milu ri karyya sang Bhūpati.

Artinya:
Sungguh indah menakjubkan kondisi jalan yang menuju
(ke) bangsal (tempat dialog) Hastina,
setelah keberangkatan Prabu Kresna, di alun-alun Kuru,
ia bertemu dengan Parasurama, Kanwa dan Janaka yang
sudah berbadan dewa bersama-sama dengan,
Barata Narada, untuk ikut membantu arya Sang Prabu
Kresna.
Keterangan kata-katanya:
Lêngêng tegesipun endah, edi, nengsemake,
Gati tegesipun kawontenan, Hawan tegesipun dalan/margi,
Lêngêng gati nikang kawan tegesipun asri nengsemaken
kawontening marginipun / asri, edi nengsemake kahane dalane,
Sabha tegesipun bangsal papan sarasehan, papan rembagan,
pandhapa kraton,
Samantara tegesipun boten antawis dangu/ora antara suwe,
Tegal Kuru tegesipun ara-ara Kuru,
Narāryya tegesipun Nara / tiyang (orang) + arrya tegesipun
minulya,
Narāryya Kresna laku tegesipun tindakipun prabu Kresna /
prabu Kresna olehe tindak,
Kresna laku tegesipun Kresna / olehe / anggone - laku: tindakipun
Kresna,
Sirang Paraçurama, Kaņwa…: Panjenenganipun Paracurama,
Kanwa..,
Janakādulur Narada tegesipun Janaka lan adulur /sesarengan
lan Narada / Janaka sesarengan kaliyan Narada,
Karyya tegesipun ayahan, padamelan,
Bhupati tegesipun Bhu /bumi lan pati / pengageng.

Terjemahan:
mempesona, menarik hati,
keadaan), (jalan,
indah mempesona keadaan jalannya,
pendopo sebagai tempat sarasehan,
tidak berapa lama antaranya / sementara itu, segera sesudah itu,
alun-alun, tanah lapang Kuru,
dimuliakan, dalam tembang ini narāryya sama dengan prabu
/ raja,
kepergian sang Prabu Kresna,
kepergian Kresna,
beliaunya adalah sang Paracurama, Kanwa..,
Janaka bersama Narada,
tugas, pekerjaan,
raja, ratu.

Kalimat-kalimat berbahasa Kawi Kuna yang berada di dalam Kakawin Sardulawikridita itu menyatakan keindahan dan ketenangan (ayom lan ayem) negara Hastina dalam pemerintahan Prabu Duryudana (raja wangsa Kuru). Selanjutnya keterangan itu menjadi agak tegang setelah kehadiran Kresna bersama Resi Ramaparacu, Resi Kanwa yang sudah berbadan dewa di negeri Hastina, yang mengucik untuk kembalinya Hastina kepada para Pandawa. Dan terjadilah perang besar Bharatayuda Jayabinangun. Sampai hari ke-13, dalam pertikaian dari kedua belah pihak, para pahlawannya saling berguguran.

Kemudian pada hari ke-14, Sri Kresna sebagai dalang (botoh) nya para Pandawa, memanggil Gathotkaca untuk menjadi Senapati Pandawa. Demikianlah çlokanya:

Irika ta sang Gathutkaca kinon mapagākkasuta,
Têkap ira Kŗşņa Partha manêhêr muji çakti nira,
Sang inujaran wawang masêmu garjjita harsa marêk,
Mawacara bhagya yan hana pakon ri patik nŗpati.

Sesuai dengan isi çloka itu yang menyatakan bahwa Gathotkaca sebagai senapati (panglima) perang, maka kalimat-kalimat çloka itu oleh para dalang wayang kulit purwa diambil untuk mengiringi saat Gathotkaca akan terbang.

Irikata sang Gathutkaca kinon, mapak Arkhasuta (ada yang
mengucapkan Argasuta), O.. tekapira Kresna, Parta maneher
muji saktinira, sang inujaran wangwang masemu nggarjita,
O..

Ada perubahan sedikit, khususnya pada kata arkha suta ada yang mengucapkan arga suta. Dan kalimatnya dipenggal hanya sampai pada kata garjita. Dalam pengetrapannya çloka ini disebut sulukan Ada-ada Greget saut Slendro Sanga.

Terjemahan çloka itu adalah sebagai berikut: pada waktu itu Sang Gathotkaca disuruh bertemu berhadapan melawan anaknya Batara Surya yaitu Adipati Karna oleh Batara Kresna. Parta atau Arjuna menjunjung tinggi kesaktian Gathotkaca. Sesaat itu yang disuruh yaitu Gathotkaca nampak suka cita. Maka dengan kegembiraan hati ia menghadap ke Prabu Kresna dan kemudian berkatalah kepadanya “Aku merasa senang karena ada perintah kepadaku.”

Bahasa Kawi Kuna dalam perkembangannya, oleh para generasi pembaharu seni pewayangan di Kraton Surakarta Adiningrat yang baru saja pindah dari Mataram Kartasura nampaknya dianggap lebih luhur dibanding dengan bahasa Jawa Baru. Hal ini terbukti dengan pemilihannya terhadap Kakawin yang dipakai dan diterapkan pada suluk dalang meskipun harus mengalami perubahan. Menurut Porbocaroko dalam Kesusasteraan Jawanya, perubahan bahasa Kawi Kuna ini terjadi sejak sebelum Majapahit runtuh. Hal ini lebih disebabkan oleh generasi penerus yang tidak mampu lagi mengetrapkan bahasa tersebut dalam pergaulan. Maka mereka tinggalkan bahasa itu. Anggapan mereka sampai saat ini bahwa bahasa Kawi Kuna adalah Bahasa Leluhur.

Sebutan bahasa leluhur-pun mengalami penggeseran menjadi Bahasa Luhur. Itulah sebabnya mengapa Kakawin atau tembang Kawi terpilih oleh pembaharu seni pewayangan di kraton Surakarta. Justru sampai saat ini, bukan hanya tembang Kawi-nya saja yang terpilih, melainkan seluruh Bahasa Luhur Kawi menjadi bahasa pilihan bagi seni pertunjukkan wayang secara umum. Bahasa Kawi Luhur masuk dalam kategori bahasa Pedalangan, khususnya seni pewayangan versi Jogyakarta dan Surakarta, baik yang klasik maupun garapan barunya.

Berbeda dengan sastra suluk dalam seni pewayangan versi Jawatimuran. Dalam proses perkembangannya, secara turun-temurun hanya dengan system mendengarkan, melihat dan menirukan dalang yang sedang menyajikan karya. Itulah system nyantrik. Hasil cantrikan dalam prosesnya antara cantrik yang satu dengan yang lain sering berbeda dalam ucap bahasa, misalnya ucapan kata Apituwi, ada yang mengucapkan Kapituwi. Gelanggang perang, ada yang mengucapkan Pemedan, ada yang mengucapkan Permedan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab setelah munculnya buku-buku terbitan baru oleh penulis wayang Jawatimuran, maka para dalang tentu bisa menyatu dalam satu buku itu sebagai pacu kawruh (pengetahuan). Seperti pertunjukkan wayang pada umumnya, wayang Jawatimuran-pun dalam sajiannya juga menggunakan suluk yang terhias sastra dengan sangat indahnya. Suluk yang pertama kali berupa lagu yang disebut Pelungan atau Drojogan, yang urutan barisnya adalah sebagai berikut:

Ingsun miwiti andalang,
Wayangingsun bambang paesan,
Kelire jagad dumadi,
Yana larapaningsun naga papasihan,
Pracike tapele jagad gumelar,
Drojogku sanggabuwana,
Gligen rajeging wesi,
Yana blencong kencana murti,
Kothake wayang kaya cendhana sari,
Tutupe ndhuwur jati kusuma,
Kepyke gelap ngampar,
Ingsun dalang purbawasesa,
Gamelan larase Slendro pengasihan,
Gambang garuting ati,
Gender panuntuning laras,
Rebab cindhe lara tangis,
Kendhang panggetaking ati,
Kempul panduduting ati,
Pradangga putraning jiwa raga,
Waranggana saking Suralaya,
Kinayut-kayut swaranya lir dewa,
(Djumiran RA, Lagon vocal Dalang Jawatimuran)

Terjemahan:
Aku akan mulai mendalang,
Wayangku adalah bambangan (pemuda),
Layarnya bagaikan jagad ciptaan Tuhan,
Gedebogku berkekuatan dua naga yang sedang memadu
kasih,
Kekuatan pracik (ikat atas dan bawah) layar bagaikan sabuk
jagad raya,
Drojogku (penyangga) bagaikan penyangga jagad,
Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai
pagar (rajeg) yang berkekuatan besi,
Adapun lampu penerangnya (blencong) bagaikan mas yang
dimiliki dewa,
Tempat wayang (kotak) memakai bahan sarinya kayu cendana
yang harum itu,
Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati
yang harum (kusuma = kembang),
Kepyak (sebagai sarana kekuatan sabet) bagaikan bunyi
petir (gelap) menyambar (ngampar),
Aku inilah seorang dalang yang dikaruniai kekuasaan untuk
menguasai, mengatur/menata pada alam raya ini,
Sebagai alat pengiringku (gamelanku) yang berlaras
Slendro itu memiliki daya tarik kuat yang tak tertandingi,
Gambang (gamelan kayu) sebagai penopang rasa keprihatinan,
Gender (gamelan renteng) sebagai penuntun (petunjuk) semasa
dalang hendak suluk,
Rebab (gamelan gesek) terbalut/terhias dengan kain cindhe
sebagai penopang suasana kesedihan,
Kendhang sebagai penopang suasana emosional (lembut
dan keras/tegas),
Kempul sebagai penopang tempo di segala suasana,
Pemain gamelan (pradangga/wiyaga) yang mengisi/menggerakkan
jiwa raga dalam gambaran hidup dan kehidupan,
Pengidung wanita (waranggana = pesindhen = bidadari)
dari kahyangan = sorga (Suralaya),
Mengalun (kinayut-kayut) suaranya bagaikan suara mas
(suara dewa = suara baik = suara yang berkualitas).

Pelungan ini sebuah nama judul yang diberikan oleh seniman kepada sebuah susunan syair dalam sastra suluk pada seni pertunjukkan wayang Jawatimuran versi Mojokertoan. Bagi wayang Jawatimuran versi Porongan disebut Drojogan. Di samping syair tersebut di atas, ada lagi susunan kalimat syair yang lain, yaitu:

Swuh rep data pitana,
Rep swuh rep, rep swuh rep saking karsaningsun,
Sekar kawi kang sinawung,
Kinarya resmining kidung,
Binarung swaraning gending Gandakusuma munya,
Kekanthening Budaya, ing nguni Budaya iku tanama,
Anane Budaya iku saking Negara,
Dhawuhe andika wali,
Kang sinawung mring pra pujangga Jawi,
Kinarya tepa tuladha,
Karo dene para janma sujana,
Lan swartane budi kang wus uning,
Ginane krawitan angiringi Budaya,
Ana gambaran ……….,
Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sunandhi,
Kedhik janma ingkang udani,
Manawa tan parameng kawi,
Lungguh panggung nyawang gegambaran,
Gegambaraning agesang,
Manungsa kang ana madyapada,
Aja kate darbe tindak ala,
Ngudia mring kautaman,
Dimen manggih kayuwanan.
(Ki Piet Asmara Mojokerto)
Syair di atas biasa dilagukan oleh para dalang wayang Jawatimuran gagrag Mojokertoan yang wilayahnya berada di sekitar Mojokerto dan Jombang. Adapun terjemahannya adalah:

Dari suasana sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemudian
ada cerita,
Sunyi karena kehendakku,
Sekar (tembang) kawi yang enyertai,
Sebagai kidung resmi (sejati = suci),
Bersama suara gending Gondokusuma,
Sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada,
Kalau ada berasal dari Negara,
Atas perintah para wali,
Yang direstui oleh para pujangga Jawa,
Sebagai suri teladan (contoh),
Bersama para cerdik-pandai,
Serta para budiman bijak,
(bahwa) fungsi gamelan sebagai pengiring seni Budaya,
Yang berujud gambaran,
Seperti wujud manusia ini mengandung sastra terselubung,
Sedikit orang yang mengerti/mengetahui,
Jika bukan ahli kawi (Budayawan),
Duduk di panggung mengamati gambaran,
Yaitu gambaran hidup dan kehidupan,
Manusia yang berada di dunia,
Jangan sampai berperilaku jahat,
Biarlah belajar tentang kebaikan/kesucian,
Agar mendapatkan keselamatan.

Menurut para dalang tua (sepuh) Ki Suleman dari Pasuruan, Jawa Timur, dan Ki Toyib Gondocarito dari Krian Sidoarjo serta para nara sumber lainnya yaitu Ki Bambang Sugiyo, Ki Surwedi, menyatakan bahwa sastra tembang Pelungan / Drojogan itu sebenarnya adalah doa yang dinyatakan dalam sastra suluk.

Apabila kita Mengamati kalimat Pelungan atau Drojogan tersebut, ternyata berisi permohonan kekuatan alami agar menguatkan pribadi si dalang dalam karyanya semalam suntuk (Ki Suleman). Masih banyak sastra suluk yang ada, namun tidak mungkin akan diangkat seluruhnya dalam karya tulis ini. Namun di bawah ini masih ada beberapa yang perlu diungkap:

Sendhon Prabatilarsa Pathet Wolu
Nara nata nggonira miyos siniwaka
Sineba mring pra Santana
Sumewi munggwing ngayun
Ngelik:
Teja-teja, tejane wong kang Nembe kaeksi
Sumunar pindha Sang Hyang Bagaskara
Nyunani sagung para kawula
Ingkang ayem tentrem sami ngudi ngudi
Mring pakaryanira kinarya nyekapi
Ing kwajibanira………
(Ki Piet Asmara)

Sendhon Purwa Seba Pathet Wolu
Rupa candra sasi bumi
Nabi Budha roning medi
Sasadara wulan candra
Bumi watak siji
(Ki Piet Asmara)

Bendhengan Wayang Srambahan
Yana netra caksu naya
Dresthinya maluncana
Karna-karni suku loro
Wategana marang sawiji
Suku loro wategana marang sawiji.
(Ki Surwedi)

Yang disebut bendhengan sebenarnya greget saut yaitu sebuah lagu ada-ada (daerah Solo). Di Jawatimuran Ki Suleman mengatakan bendhengan bersuasana tegang. Bendhengan ini dimuat dalam Lagon Vokal Dalang Jawatimuran tulisan Djoemiran RA. Sendhon Angasih-Asih Slendro Sanga Jawatimuran

O..O.. dhahat atawang tangis e
Sambat amelas asih
Esmu kingkin ing panggalih
(Ki Cung Wartanu Mojosari-Mojokerto)

Oleh Ki Cung Wartanu, lagu sendhon ini dimunculkan secara improvisasi. Menurutnya sendhonannya bukan itu. Sendhon yang biasanya kurang/tidak susah. Kecuali sastra suluk yang berupa lagon dalang, masih ada lagi sastra suluk yang berupa suluk ilmu gaib.
Pada umumnya, sastra suluk ilmu gaib tidak terungkap melalui lagon dalang, tetapi terungkap melalui tembang Macapat, berisi ajaran tentang ilmu gaib, ilmu kebatinan atau ilmu kasampurnaning pati. (S. Padmosoekotjo, Ngrengengan Kasusastran Jawi, tt. Hal. 80). Beberapa contoh sastra suluk ilmu gaib:

Maskumambang:
Batur tukon lamun nrima mesthi dadi
Ing kamardikannya
Nadyan wong mardika yekti
Yen loba dadi kawula

Artinya:
Budak (Batur tukon), maksudnya budaknya duniawi, orang
yang mudah terpengaruh oleh duniawi sebab dari watak
yang angkara murka
Kamardikan (kebebasan), tidak dikuasai duniawi
Rakyat kecil (kawula), yaitu Budaknya duniawi

Jadi makna tembang itu adalah orang yang senang terhadap duniawi, sering disebut mangeran marang kadonyan. Mempertuhankan barang-barang duniawi. Bagi mereka yang sudah tidak membudak pada duniawi, disebut telah merdeka.

Komentar