Wayang Madya

Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Mangkunegoro IV (1853 – 1881) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara urut. Semula Sri Mangkunegoro IV menerima buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito (1802 – 24 Desember 1873) pada tahun 1870 (1792 Caka).

Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang kemudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging Witaradya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu timbullah gagasan Sri Mangkunegoro IV untuk membuat jenis wayang baru, yang dapat menyambung zaman Purwa dengan zaman Jenggala dengan cerita-cerita Panji.

Dari gagasan tersebut maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang Madya. Wayang Madya adalah satu jenis wayang yang menggambarkan dari badan-tengah ke atas berwujud wayang Purwa, sedang dari badan-tengah ke bawah berwujud wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging.

Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro IV membagi sejarah wayang dalam tiga masa yang disesuaikan dengan jenis-jenis wayang untuk ketiga masa tersebut, yaitu masa pertama dari tahun 1 – 785 Caka (tahun 78 – 863 Masehi), dari kedatangan Prabu Isaka (Ajisaka) sampai wafatnya Maharaja Yudayana di kerajaan Astina, yang disebut wayang Purwa, masa kedua dari tahun 785 – 1052 Caka (tahun 863 – 1130 Masehi), sampai Prabu Jayalengkara naik tahta, yang disebut wayang Madya (bahasa Sanskerta: madya = tengah), masa ketiga dari tahun 1052 – 1552 Caka (tahun 1130 – 1431 Masehi), sampai masuknya agama Islam, yang disebut wayang Wasana (bahasa Sanskerta: wasana = akhir)

Yudayaka (Wayang Madya)
Yudayaka (Wayang Madya)
Tokoh-tokoh wayang yang mendominasi akhir wayang purwa adalah putra-putra keturunan Pandawa antara lain Sasikirana anak Gathotkaca, Sangasanga anak Satyaki, Dwara anak Samba, serta anak-anak keturunan Parikesit, yaitu Yuda-yaka, Yudayana, dan Gendrayana. Gendrayana adalah cucu Perikesit yang merupakan tokoh terakhir dari wayang Purwa dan kemudian dilanjutkan oleh Prabu Jayabaya putra Gendrayana, sebagai tokoh Pemula dari wayang Madya.

Salah satu cerita wayang Madya bersumber pada Serat Anglingdarma yang aslinya terdapat di Sasana Pustaka Kraton Surakarta dengan tokoh-tokoh wayang seperti Angklingdarma dari kerajaan Malwapati serta Batik Madrim sabagai patihnya. Ciri khas wayang Madya adalah suatu kombinasi perwujudan wayang Purwa dengan wayang Gedog yang tidak satupun tokoh wayangnya menggunakan busana gelung cupit urang, sedang semua wayang Madya menggunakan rambut yang terurai ke bawah seperti pada tokoh wayang Purwa Lesmana Mandrakumara yaitu putra Prabu Duryudana dari negara Astina kelurga Kurawa.

Komentar